Minggu, 23 Mei 2010

MAU DIKEMANAKAN ILMUKU?

Alhamdulillah…….
Setelah melalui serangkaian rutinitas kuliah yg panjang dan kadang terasa membosankan, dibarengi dengan tugas-tugas kuliah dan laporan-laporan yg menumpuk, akhirnya hari wisuda ini datang juga. Hari di mana semua jerih payah selama bertahun-tahun terbayar sudah, dengan diberikannya sebuah gelar yang menandai diakhirinya sebuah perjuangan dan dimulainya perjuangan kehidupan yang baru.

Ya, hari ini adalah hari bahagia di mana semua usaha kita sebagai mahasiswa dan orangtua kita sebagai sponsor utama pendidikan kita (dalam bentuk apapun itu, moril maupun finansial) berbuah manis. Namun, pertanyaan baru kemudian muncul dalam benak kita, mau apa kita setelah lulus? Kerja, kuliah lagi atau menjadi entrepreneur? Apapun pilihannya, minumannya tetap teh ….. (ups…..malah jadi iklan)

Apapun pilihannya, seringkali kita terjebak pada pemanfaatan ilmu pengetahuan yang berdasar pada asas manfaat saja tanpa memperhatikan ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Padahal pemanfaatan ilmu pengetahuan bagi seorang muslim wajib menjadikan ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) sebagai tolak ukur dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan, bagaimana pun bentuknya. Ilmu yang boleh dimanfaatkan adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam, sedangkan ilmu yang tidak boleh dimanfaatkan adalah yang telah diharamkan syariah Islam. Keharusan tolak ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk dalam menggunakan ilmu pengetahuan) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya…” (Qs. al-A’raaf [7]: 3).

Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].

Hal ini sangat kontras dengan apa yang ada di dunia Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan ilmu pengetahuan menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.

Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan ilmu pengetahuan secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.

Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.

Jika standar halal-haram ini dijadikan prinsip dasar oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah:

“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf [7]: 96).

Referensi:
PERAN ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI, M. Shiddiq Al Jawi

Baca Selengkapnya......

Larangan Meniup Minuman dan Bahayanya

Oleh: Badrul Tamam



Makan dan minum bagi seorang muslim sebagai sarana untuk menjaga kesehatan badannya supaya bisa manegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya dia berusaha agar makan dan minumnya mendapatkan pahala dari Allah. Caranya, dengan senantiasa menjaga kehalalan makanan dan minumanya serta menjaga adab-adab yang dituntunkan Islam.

Makan dan minum seorang muslim tidak sebatas aktifitas memuaskan nafsu, menghilangkang lapar dan dahaga semata. Karenanya, seorang muslim apabila tidak lapar maka dia tidak makan dan apabila tidak haus, dia tidak minum. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari seorang sahabat,

نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Dari sini, maka seorang muslim dalam makan dan minumnya senantiasa memperhatikan adab Islam yang telah dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar bernilai ibadah. Dan di antara adabnya adalah tidak bernafas dan meniup minuman. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Al-Tirmidzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Dan juga hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk meniup di dalam air minum." (HR. al-Tirmidzi no. 1887 dan beliau menyahihkannya)

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu."

Dalam Zaadul Ma'ad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupnya.

Apa Hikmahnya?

Apa hikmahnya, sering menjadi pertanyaan kita sebelum mengamalkannya. Padahal dalam menyikapi tuntunan Islam hanya sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat), tanpa harus terlebih dahulu mengetahui hikmahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khathab sesudah mencium hajar Aswad, "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya seonggok batu yang tidak bisa menimpakan madharat dan tidak bisa mendatangkan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menciummu, pasti aku tidak akan menciummu." (HR. Al-Bukhari no. 1494 dan Muslim no. 2230)

Namun yang jelas bahwa setiap yang disyariatkan dan dituntunkan oleh Islam pasti mendatangkan kebaikan dan setiap yang dilarangnya pasti mendatangkan madharat. Dan apabila seorang muslim mengetahui hikmah dari sebuah syariat, maka dia akan semakin mantap dalam mengamalkannya. Dan apabila belum mampu menyingkapnya, maka keterangan dari Al-Qur'an dan Sunnah sudah mencukupi.

Di antara hikmah larangan meniup minuman yang masih panas adalah karena nanti struktur molekul dalam air akan berubah menjadi zat asam yang membahayakan kesehatan.

Sebagaimana yang diketahui, air memiliki nama ilmiah H20. ini berarti di dalam air terdapat 2 buah atom hidrogen dan satu buah atom oksigen yang mana 2 atom hidrogen tersebut terikat dalam satu buah atom oksigen. Dan apabila kita hembus napas pada minuman, kita akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2). Dan apabila karbon dioksida (CO2) bercampur dengan air (H20), akan menjadi senyawa asam karbonat (H2CO3). Zat asam inilah yang berbahaya bila masuk kedalam tubuh kita.

senyawa H2CO3 adalah senyawa asam yang lemah sehingga efek terhadap tubuh memang kurang berpengaruh tapi ada baiknya kalau kita mengurangi masuknya zat asam kedalam tubuh kita karena dapat membahayakan kesehatan. (Dikutip Dari : Apa Aja: Bahaya Meniup Minuman Panas Kerja Sama Dengan blog-apa-aja.blogspot.com)

Dari sini juga semakin jelas hiikmah dari larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar ketika minum seteguk demi seteguk, jangan langsung satu gelas sambil bernapas di dalam gelas. Hal ini karena ketika kita minum langsung banyak, maka ada kemungkinan kita akan bernapas di dalam gelas, yang akan menyebabkan reaksi kimia seperti di atas.

Sumber:
http://voa-islam.com/islamia/ibadah/2010/05/22/6288/larangan-meniup-minuman-dan-bahayanya/

Baca Selengkapnya......

BERATNYA MENJADI PEMIMPIN

Renungan ini adalah untuk kita semua. Karena pada hakikatnya kita semua adalah pemimpin, baik bagi diri kita pribadi, maupun untuk keluarga dan orang-orang lain di sekitar kita. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Tiap-tiap diri kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban kepemimpinan kalian". (HR. Bukhari)

Menjadi pemimpin memang bukan pekerjaan mudah. Salah langkah atau salah memutuskan dapat menjadi penghalang dalam memasuki surga-Nya. Karena jika satu saja dari orang-orang yang dipimpin tidak ridha atas diri sang pemimpin ataupun keputusan-keputusan yang dibuat, maka dapat menahan langkah sang pemimpin kelak di yaumul akhir, karena Allah akan menunda rahmat-Nya ketika ada satu mahluknya yang tidak ridha. Karena itulah, setiap keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin haruslah dipikirkan secara matang dan terencana. Bukan sekedar mengikuti arus, atau mengikuti situasi dan kondisi yang ada. Karena itulah amanah menjadi seorang pemimpin adalah berat adanya, sehingga Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan para sahabat Rasulullah lainnya ketika terpilih menjadi khalifah sempat menangis karena membayangkan betapa beratnya pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat. Karena satu saja dari rakyat mereka tidak ridha atas kepemimpinan mereka, maka surga yang dijanjikan Allah akan tidak pernah diraih.

Memang benar, seorang pemimpin pada hakekatnya tetaplah seorang manusia yang tidak luput dari khilaf dan dosa. Apalagi seorang manusia tidak akan pernah luput dari cobaan dan ujian dari Allah selama hidupnya. Sebagaimana firman Allah:

“Wahai Hambaku! Sesungguhnya kamu pasti melakukan kesalahan siang dan malam…….
(Hadis Qudsi diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar dari Nabi SAW, dari Allah ‘Azza wa Jalla)

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk: 2)

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut: 2)

Sehingga sangat mungkin dalam perjalanannya sebagai seorang pemimpin, seseorang melakukan kesalahan dan kekhilafan karena pengaruh dari masalah-masalah yang dihadapinya. Maka tidak heran jika setiap malam Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis meminta ampun kepada Allah atas setiap kelalaian dirinya dalam mengurus umat.

Karena itulah, maka empati dan simpati harus kita berikan kepada pemimpin-pemimpin kita yang sudah berusaha sekuat tenaga menunaikan amanahnya sesuai dengan hukum-hukum Allah namun tetap terjadi kesalahan dan kekhilafan pada diri mereka. Karena mungkin hal itu terjadi karena keterbatasan mereka sebagai manusia yang juga memiliki masalah-masalah pribadi yang butuh diselesaikan. Juga karena keterbatasan mereka dari sisi ihsas dan pemikiran yang belum bisa ‘terbang’ dalam melihat masalah sehingga keputusan-keputusan yang mereka buat tidak menyelesaikan masalah yang ada karena belum menyentuh akar permasalahannya.

Namun, catatan penting bagi seorang pemimpin yang mengharapkan pengertian dari orang lain akan keterbatasannya, bahwa seorang pemimpin pun harus memberikan empati dan simpatinya pada orang-orang yang dipimpinnya jika menginginkan diberikan feed-back yang serupa. Sudahkah sang pemimpin memberikan yang dibutuhkan oleh para ‘bawahannya’? Sudahkah sang pemimpin berempati dan bersimpati terhadap permasalahan-permasalahan pribadi mereka yang juga membutuhkan arahan sang pemimpin untuk menyelesaikannya?

Jika belum, maka jangan mengharapkan ada empati dan simpati yang diberikan. Karena pada hakikatnya, hubungan antara sesama muslim adalah saling memberi dan saling menerima.
U’ll take what u’ve given.

Maka, bagi kalian yang telah dan sedang berproses menjadi pemimpin, berhati-hatilah dalam melangkah dan mengambil keputusan. Karena pada hakikatnya, bukan hanya amal diri yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, tapi juga amal orang-orang yang kita pimpin.

Wallahu’alam bi shawab…….

Baca Selengkapnya......

APA KAMU PUNYA MASALAH?

Setiap manusia pasti punya masalah, karena masalah itulah yang menjadikan hidup ini menjadi dinamis dan bermakna, bukan sekedar numpang lewat sebelum masuk ke alam berikutnya. Bahkan orang mati punya masalah, masalah apakah mereka akan masuk neraka atau surga nantinya padahal pada saat itu mereka sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menambah pahala ataupun mengurangi dosa-dosa mereka, bahkan mereka sudah tidak punya kesempatan untuk berdo’a lagi agar anak cucu mereka bisa mengirimkan do’a ke kubur mereka untuk meringankan timbangan dosa-dosa mereka nantinya. Ini masalah besar, bukan?

Kalo orang mati saja punya masalah, apalagi manusia yang hidup, pastilah punya masalah yang jauh lebih besar dan kompleks karena mereka yang hidup masih diberi kesempatan untuk menambah pahala ataupun mengurangi dosa-dosa mereka selama di dunia. Karena itulah cobaan dan halangan yang datang bertubi-tubi seakan-akan tiada habisnya untuk menguji manusia apakah masih konsisten beribadah kepada Allah sementara mereka menghadapi ujian-ujian tersebut.

Dan ini sudah diberitakan Allah dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang yang beriman akan terus-menerus diuji selama mereka hidup dan istirahat orang-orang beriman tersebut adalah ketika kaki-kaki mereka sudah menginjak surga. Dan di situlah baru manusia tidak akan punya masalah.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut: 2)

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk: 2)

Karena itu, jangan pernah menganggap bahwa ketika tingkat keimanan seseorang sudah tinggi, maka dia tidak akan punya masalah lagi dengan hidupnya. Justru semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka cobaan yang diberikan Allah akan semakin berat. Dan ketika saat itu tiba, seorang manusia akan sangat membutuhkan manusia lainnya untuk menguatkan dan membantu dia menyelesaikan masalahnya. Maka, jangan berasumsi bahwa seseorang yang tinggi keimanannya tidak perlu dibantu lagi dalam sisi tausiyah dan bantuan lainnya, karena justru mereka sangat membutuhkannya. Apalagi buat orang-orang yang masih belum sempurna syakhsiyahnya, sehingga belum bisa menyelesaikan seluruh permasalahannya sesuai aturan Allah.

Maka, jangan tinggalkan mereka, kawan, sodara-sodara kita pastilah mempunyai masalah dalam hidupnya. Dan kadang yang mereka perlukan hanya tempat bercerita dan itu bisa kita mulai dengan bertanya, “Apa kabarmu hari ini, ukhti sholehah? Adakah masalah yang sedang kau hadapi?”

Jangan beranggapan bahwa orang-orang beriman (pengemban dakwah) adalah orang-orang yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dan harus dibiarkan sendiri. Justru, keadaan mereka saat itu adalah yang paling rapuh yang akan dimanfaatkan oleh setan untuk memalingkan mereka dari jalan yang benar ini. Karena itu, bantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka, paling tidak berikan empati dan simpati terhadap permasalahan mereka.

Baca Selengkapnya......