Jumat, 10 Desember 2010

PERAN INTELEKTUAL MUSLIMAH DALAM MENYELAMATKAN GENERASI UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA MENJADI MANDIRI, KUAT DAN TERDEPAN

Oleh: Muriani Emelda Isharyani, ST, MT

Pendahuluan
Kaum intelektual muslimah adalah bagian integral yang tidak terpisahkan dari dunia pendidikan, baik itu pendidikan yang dimulai dari kandungan sampai dengan pendidikan di perguruan tinggi. Peran kaum intelektual muslimah sangat strategis dalam menentukan nasib bangsa. Merekalah yang mencanangkan tonggak sejarah kehidupan suatu bangsa, merekalah yang mewarnai dan menentukan profil suatu bangsa, sehingga bangsa yang berkepribadian mulia pasti lahir dari komunitas intelektual yang mulia pula.

Untuk mewujudkan bangsa yang berkepribadian mulia, maka para intelektual muslimah mengemban amanah untuk turut serta menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, baik dalam posisinya di sektor domestik maupun dalam posisinya di sektor publik. Dalam sektor domestik, intelektual muslimah memiliki kewajiban sebagai seorang ibu yang mengandung dan mendidik anak. Sedangkan dalam sektor publik, seorang intelektual muslimah juga memiliki kewajiban yang tidak mungkin dilakukan di dalam rumah, seperti menuntut ilmu dan dakwah. Juga kegiatan-kegiatan lainnya dalam sektor publik yang memberikan para intelektual muslimah peran penting dalam masyarakat, seperti aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan eksis di dalam perdagangan atau mencari nafkah. Namun, para intelektual muslimah yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Dampak semua ini adalah sebuah ironi bahwa lahirnya para intelektual muslimah ternyata justru meningkatkan kuantitas dan juga kualitas problematika umat. Gejala pergeseran orientasi peran strategis para intelektual muslimah terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ini ternyata tidak hanya terjadi dalam lingkup Samarinda atau Kalimantan Timur ataupun Indonesia, melainkan sudah mendunia. Hal ini dapat kita lihat dari salah satu hasilnya yang berupa makin rusaknya kualitas generasi muda yang terbentuk pada masa sekarang ini, yang dalam makalah ini dibatasi pada ruang lingkup Kalimantan timur dan Indonesia.

Potret Buram Generasi Masa Kini
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia memiliki generasi muda dengan keadaan yang memprihatinkan. Selain terbelit dengan masalah kemiskinan dan putus sekolah, banyak yang terjerat narkoba, perilaku seks bebas hingga terjangkit HIV/AIDS ataupun terlibat dalam kegiatan kriminal lainnya. Padahal sebagian besar generasi muda Indonesia yang bermasalah ini adalah kalangan terpelajar yang telah menempuh pendidikan sedikitnya sampai sekolah menengah. Masalah kemiskinan dalam masyarakat salah satunya terjadi karena sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga memiliki gelar akademik pun tidak menjamin akan mendapat pekerjaan yang layak. Data dari Dirjen Dikti bahkan menyebut angka pengangguran sarjana menunjukkan kecenderungan yang terus naik hingga pada tahun 2008 angka pengangguran di Indonesia sudah mencapai 1,2 juta orang (Kaltim Post, Rabu 11 Maret 2009). Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim hingga Februari 2010 menyebutkan terdapat 10,45% dari jumlah penduduk, belum memiliki pekerjaan. Sementara, jika dilihat dari kelas pendidikan, masih banyak berstandar sekolah dasar yang mencapai 519.642 orang dari total 3,2 juta jiwa penduduk Kaltim. Sedangkan pekerja dengan tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi hanya 5,66% (Kaltim Post, Selasa 11 Mei 2010)

Kemiskinan dapat menyebabkan terjebaknya generasi muda pada narkoba sebagai pelarian dari permasalahan hidup yang mereka hadapi. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Gories Mere mengungkapkan jumlah pecandu narkoba pada survery BNN pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 3,3 juta orang atau 1,99 persen penduduk Indonesia yang terdiri dari dua golongan, yaitu 1,3 juta pelajar atau mahasiswa dan sisanya 2 juta orang bukan pelajar dan mahasiswa (Berita Suara Media, 26 Juni 2010). Bahkan menurut hasil survei oleh BNK Makasar yang menyatakan 75 siswa SD adalah pengguna narkoba (Sabtu, 16 Januari 2010, http://masagemilang.blogspot.com/2010/01/narkoba-menjajah-generasi-muda.html).

Rusaknya generasi ini bertambah lagi dengan adanya budaya permisif yang kemudian menumbuh-suburkan pornografi-pornoaksi yang memicu adanya seks bebas. Sebagaimana data Depkes pada 2002-2003 yang mengungkapkan 60 persen remaja mengaku telah mempraktikkan seks pra nikah (Kaltim Post, 13 April 2010). Hasil yang cukup mengejutkan juga didapat dari hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kaltim terhadap remaja usia 12-21 tahun di Samarinda, Balikpapan, dan Paser, dimana pada tahun 2002 di Balikpapan sekitar 60 dari 300 remaja (20%) dan pada tahun 2009 di Kabupaten Paser sekitar 5% pelajar SMP dan SMA mengaku pernah berhubungan seksual (Kaltim Post, 9 Juni 2010). Juga diketahui dari hasil survei yang dilakukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kaltim bahwa pada tahun 2009, dari 400 remaja usia sekolah hingga kuliah di Samarinda, 25% sudah pernah berhubungan seksual (Kaltim Post, 2 Desember 2010).

Seks bebas kemudian menyebabkan banyak kasus hamil tak diinginkan. Akibatnya, banyak remaja putri yang melakukan aborsi (2,3 juta kasus per tahun). Seks bebas juga menimbulkan semakin bertambahnya jumlah penderita HIV di Indonesia yang menjadikan laju pertumbuhan penderita kasus HIV/AIDS di Indonesia sebagai yang tercepat di Asia. Dalam setahun diperkirakan terjadi satu juta kasus baru HIV di Indonesia. Tragisnya, 92% diantaranya adalah usia produktif, termasuk anak-anak dan remaja. Sampai bulan September 2009, Kementerian Kesehatan telah melaporkan jumlah penderita AIDS pada anak dibawah 15 tahun telah mencapai 464 anak (Kalimantan-news, 1 Desember 2010, 07:36:04 WIB).

Pergeseran Peran Intelektual Muslimah
Semua masalah yang menimpa generasi muda tersebut baru sebagian kecil dari permasalahan yang menimpa bangsa dan negara ini. Dan permasalahan serupa juga dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Kenapa hal ini bisa terjadi serempak di seluruh dunia dan di seluruh lini kehidupan?

Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kuncinya. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang diterapkan di seluruh dunia bersumber dari sekulerisme, yang telah memposisikan agama sebagai suatu ajaran yang harus dijauhkan/dikeluarkan dari siklus kehidupan manusia, menjadikan kebebasan meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan jasadiah menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan. Dan intelektual muslimah sebagai pendidik pertama dan utama generasi bangsa didorong untuk memperoleh peran dan kedudukan yang sama persis dengan laki-laki. Ditanamkanlah asumsi bahwa rumah tangga adalah penjara bagi kaum perempuan yang menghalangi kiprahnya di sektor publik dan peran ibu adalah perbudakan. Akibatnya, hanya sedikit perempuan yang tulus melakoni peran sebagai ibu, dan tidak ada yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak. Hal ini telah membawa intelektual muslimah mengabaikan peran keibuan (umamah) dan pengelola rumah tangga (rabbah al-bayt). Padahal peran inilah yang pertama dan utama untuk melahirkan generasi berkualitas. Sistem sosial yang rusak dan ancaman lost generation di depan mata. Perempuan juga harus menanggung hidup yang semakin berat akibat penghapusan berbagai UU yang memberi kekhususan bagi perempuan di tempat kerja, seperti cuti hamil, tidak adanya jam kerja malam dsb.

Ideologi inilah yang hari ini menguasai kehidupan para intelektual di era global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan berpikir secara pragmatis dan instan. Ideologi tersebut dapat tumbuh subur karena menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Sistem kapitalistik telah menghancurkan peran utama para intelektual ini dan menjatuhkan kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Para intelektual dalam sistem kapitalistik justru dipersiapkan untuk mempersiapkan undang-undang yang melegitimasi sepak terjang para kapitalis untuk merampok kekayaan alam. UU Penanaman modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis.

Intelektual dalam sistem kapitalistik juga diarahkan untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu ada dalam arahan dan dominasi para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan pengetahuan dan para pemilik pengetahuan sebagai budak-budak mereka. Dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia misalnya, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak mencetak intelektual yang hanya bertindak sebagai buruh-buruh murah bagi mereka. Kapitalisme juga membajak para intelektual untuk menjadi agen-agen asing yang melapangkan jalan disintegrasi bangsa. Dengan dukungan penuh kekuatan para kapitalis dari berbagai lini, negara tak sanggup menghadapi mereka.

Sebenarnya, jumlah total intelektual di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu, bukan hanya ribuan, melainkan jutaan, sebanding dengan jutaan permasalahan yang dihadapi oleh umat dewasa ini. Mulai dari problematika yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosial dan kultur budaya. Sayangnya, semua problematika tersebut tidak secara tuntas dapat teratasi oleh para intelektual yang fitrahnya seharusnya berkompeten mengatasi problematika tersebut. Sebaliknya secara faktual, lahirnya para intelektual ternyata malah melahirkan masalah baru. Mulai dari penipuan, korupsi, pengangguran, pemborosan uang negara, manipulasi penggunaan uang rakyat, hingga penyalagunaan sumber daya alam yang semestinya dapat dikelola dengan optimal melalui pemberdayaan kepakaran kaum intelektual, malah berujung kesengsaraan rakyat dan generasi dalam bentuk ketergantungan bangsa ini terhadap produk luar negeri. Hal yang ironi karena bahan bakunya sangat surplus di Indonesia. Ini benar-benar kesalahan sistemik yang sulit diselesaikan, kecuali dengan metode sistemik pula.

Di sisi lain, kita juga melihat fenomena lebih senangnya para intelektual berkiprah di negara-negara maju dibandingkan mengabdi dan membangun negerinya sendiri dikarenakan masalah pendapatan dan penghargaan yang tak sebanding dengan yang mereka terima jika mereka di luar negeri (LN). Warga negara Indonesia yang mendapat kesempatan bersekolah di LN dengan beasiswa atau berkiprah di sana pada dasarnya adalah SDM terpilih sehingga merupakan asset bangsa. Keunggulan merekalah yang menyebabkan mereka juga mendapat peluang untuk lebih lama di LN dengan tawaran penelitian lanjutan atau bekerja di perusahaan di sana. Betapa banyak dosen dan peneliti yang telah disekolahkan pemerintah, ternyata kemudian lebih senang bekerja di negara tetangga atau negara tempat mereka pernah bersekolah.

Reposisi Peran Intelektual Muslimah
Intelektual muslimah adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Allah menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab. Allah berfirman :
• Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab. (QS: Al Baqarah:269)
• Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS: Yusuf:111)
• Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah dan mereka itulah ulul albab (QS: Ali Imran:7)
• “Katakanlah “Apakah sama, orang¬orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang¬orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar :9)

Karena ilmu yang dikuasai para intelektual tersebut, Islam memberikan posisi/kemuliaan dibandingkan dengan mereka yang tidak berilmu, selama ilmu itu disandarkan pada keimanan yang benar kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya :

“Allah mengangkat orang ¬ orang yang beriman diantara kalian dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah : 11)

Rasulullah saw juga bersabda:
”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.”
(HR Muslim)

”Barangsiapa didatangi kematian dimana dia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan para Nabi di surga adalah satu tingkat derajat.”
(HR ad Darimi dan ibn sunni dengan sanad hasan).

Demikianlah, Islam menempatkan para intelektual dalam kedudukan yang sangat mulia –hingga dikatakan bisa bersama dengan para Nabi di surga-, selama mereka melandasi keilmuannya dengan keimanan, dan mempergunakan/mengamalkan ilmunya dalam rangka menghidupkan (syariah) Islam.

Para Intelektual muslimah sudah seharusnya tumbuh dan berkembang di atas pilar aqidah aqliyah, suatu proses pemahaman terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya melalui pemikiran secara utuh dan terintegrasi. Konsep ini harus ditanamkan sejak manusia mengenal dunia pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Secara rinci dapat disebutkan bahwa niat untuk menjadi intelektual sudah harus diluruskan sejak awal dan akan secara otomatis terpenuhi, ketika seseorang paham akan posisi dirinya terhadap Sang Pencipta. Keahlian yang diraih melalui proses pembinaan berbasis aqidah dan syariat Islam pasti akan diperuntukkan sesuai tuntutan kompetensi yang diinginkan Islam, yaitu untuk menyelesaikan permasalahan dan mewujudkan kemaslahatan umat. Inilah alasannya, kenapa keahlian harus dibangun di atas pilar aqidah dan syariah Islam. Keahlian yang seperti inilah yang akan mewujudkan umat yang mulia di hadapan Sang Pencipta, yaitu umat yang bertaqwa. Seseorang yang ahli di bidang sains dan teknologi misalnya, harus paham benar untuk apa alam semesta ini diciptakan, apa yang terkandung di dalam alam semesta ini, bagaimana mengeksplorasinya, mengelolanya dengan benar dan memanfaatkannya dengan amanah untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan bekerjasama secara sinergi, melibatkan para ahli dari berbagai bidang minat, akan terciptalah suatu sistem yang berkembang di atas kehidupan yang rahmatan lil’alamin secara global, bukan hanya di Indonesia. Allah menciptakan Islam untuk seluruh umat di dunia, sebagai satu-satunya agama yang telah disempurnakan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Jadi keahlian yang dikembangkan berbasis pada aqidah dan syariah Islam merupakan jaminan untuk dapat menyelesaikan permasalahan umat sedunia. Visi ini akan terwujud secara riil, ketika pada tataran implementasinya ditopang oleh sistem yang kondusif dan mendunia pula, yaitu sistem kehidupan yang menerapkan syariah kaaffah di bawah naungan daulah khilafah Islamiyah.

Posisi yang harus dipegang oleh para intelektual muslimah adalah sebagai pembimbing dan pemersatu umat untuk mewujudkan bangsanya yang besar, kuat dan terdepan dalam naungan khilafah Islam, bukan mengabdi pada bangsa lain. Umat membutuhkan intelektual yang mampu memetakan potensi dan memberi solusi yang benar untuk memecahkan berbagai persoalan umat. Intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan menanamkannya ke tengah-tengah umat. Merekalah Intelektual sejati (ulul albab) yang akan menghentikan penjajahan (non fisik) hari ini untuk menyelamatkan generasi sekarang dan di kemudian hari. Mereka adalah orang-orang yang dicirikan dengan karakter-karakter di bawah ini :
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS Ali-Imran:7) dan memikirkan ciptaan Allah (QS Ali Imran:190).
2. Mampu memisahkan yang jelek dengan yang baik. Kemudian mereka memilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang (QS Al-Maidah:100)
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS Az-Zumar:18)
4. Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat (QS Ibrahim:52).
5. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah (QS Al-Maidah:179 dan Ath-Thalaq:10).

Secara ringkas, agar seorang intelektual muslimah bisa mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka ada tiga hal yang harus senantiasa melekat pada dirinya:
1. Memiliki keahlian tertentu sesuai dengan bidang yang dikuasainya
2. Memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya. Untuk itu dia harus memiliki metode berfikir yang benar, yang dia gunakan untuk memahami realitas sesungguhnya, yaitu metode berfikir aqliyah (rasional). Sebaliknya, sekalipun arus di dunia intelektual mengajarkan untuk menjadikan metode berfikir ilmiah sebagai satu-satunya metode berpikir, seorang intelektual muslim sejati akan tetap bisa menempatkan metode berfikir ilmiah sesuai dengan porsinya yang tepat.
3. Memahami ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Sehingga pemikiran/ konsep yang disampaikannya tidaklah bersifat praktis dan bertarget pragmatis saja. Tapi harus sampai pada tataran ideologi yang akan membentuk sistem. Dengan kata lain, seorang intelektual muslimah haruslah senantiasa ideologis, tidak a-politis dan tidak membatasi pemikirannya pada satu kebidangan/kepakaran tertentu saja.

Wallahu’alam bishawab

Referensi:
Faizatul Rosyidah, Peran Intelektual Muslimah Dalam Menyelematkan Generasi Dengan Mewujudkan Indonesia yang Mandiri, Kuat dan Terdepan, 2 Desember 2010

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/03/hanya-islam-yang-memuliakan-perempuan/, Hanya Islam yang Memuliakan Perempuan, diakses tanggal 5 Desember 2010

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/03/jubir-mhti-iffah-rochmah-kesetaraan-jender-salah-arah/, Kesetaraan Jender Salah Arah, diakses tanggal 5 Desember 2010

Sabtu, 16 Januari 2010, http://masagemilang.blogspot.com/2010/01/narkoba-menjajah-generasi-muda.html, Narkoba Menjajah Generasi Muda, diakses tanggal 5 Desember 2010

Kalimantan-news, Desember, 01 2010, 07:36:04 WIB, Organisasi Wanita Kabupaten Landak Sosialisasikan Bahaya HIV/Aids.

www.kaltimpost.co.id

Baca Selengkapnya......

Sabtu, 04 September 2010

Idul Fitri dan Optimisme Perjuangan Khilafah

Perjuangan Khilafah adalah cita-cita besar yang sangat penting, konsekuensinya tentu membutuhkan kerja yang besar, kecerdasan yang tinggi, pengorbanan yang besar sekaligus kesabaran yang super.

Ramadhan berlalu, umat Islam bersiap-siap menyambut hari besar umat Islam idul Fitri. Hari besar ini sering disebut hari kemenangan dan kegembiran umat Islam. Pertanyaan pentingnya benarkah kita telah meraih kemenangan yang hakiki? Benarkah kita pantas bergembira?

Kita pantas bergembira kalau memang kita benar-benar telah meraih apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT dari shaum kita pada bulan Ramadhan yakni ketaqwaan. Inilah alat ukur dari keberhasilan shaum kita, apakah kita semakin bertaqwa atau malah sebaliknya. Ukuran ketaqwaan juga sangat jelas, apakah kita sudah menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan seluruh larangannya atau tidak.

Imam al Hasan al Bashri menjelaskan kepada kita pengertian taqwa dengan gamblang yakni menjaga dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT dan melaksanakan segala perintah-Nya. Sementara Ibnu Abbas memberikan substansi taqwa itu dengan sikap khawatir kaum Muslimin dari sanksi (uqubat) yang akan ditimpakan Allah kepadanya (karena perbuatan yang dilakukannya), sekaligus harapan akan rahmat-Nya.

Kalau kita jujur tentu kita akan mengatakan bahwa kita belum benar-benar bertaqwa. Itu artinya, kita belum benar-benar meraih kemenangan dari Ramadhan kita ini. Buktinya masih banyak hukum-hukum Allah SWT yang belum kita terapkan. Padahal kita diperintahkan untuk taat kepada seluruh hukum-hukumnya secara totalitas. Salahsatunya ditegaskan dalam Alquran: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah: 208).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I dijelaskan makna ayat ini yakni: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, membenarkan Rasul-Nya: agar mengambil seluruh pegangan Islam dan seluruh syariah, dan menjalankan seluruh perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuannya.

Penyebab mendasar tidak diterapkannya seluruh syariah Islam adalah karena kita tidak memiliki institusi politik (negara) ad daulah al Khilafah yang secara formal menerapkan syariah Islam. Tanpa negara Khilafah ini banyak syariah Islam yang tidak kita bisa kita terapkan. Kita memang bisa shalat meski tanpa negara Khilafah, namun tanpa Khilafah kita tidak bisa menghukum orang yang tidak shalat secara terang-terangan. Kita bisa shaum tanpa negara Khilafah, namun kita tidak bisa menghukum orang yang tidak shaum tanpa alasan syar’i.

Tanpa negara Khilafah kita bisa menasihati seseorang agar tidak berzina, tapi siapa yang akan menghukum orang yang berzina kalau tidak ada khilafah? Hukum-hukum yang lain jelas membutuhkan Daulah Khilafah: seperti penetapan mata uang resmi negara dinar dan dirham (yang berdasarkan emas dan perak), pencegahan barang tambang dikuasai oleh asing (swasta) karena merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah), menjalankan politik luar negeri dakwah dan jihad.

Memang memperjuangkan kembalinya Khilafah adalah persoalan yang berat. Tapi itulah konsekuensi dari cita-cita besar yang sangat penting. Tentu membutuhkan kerja yang besar, kecerdasan yang tinggi, pengorbanan yang besar sekaligus kesabaran yang super. Karena itu kita tidak boleh pesimistis apalagi menganggap perjuangan ini utopis. Modal utama dari keberhasilan perjuangan ini adalah keyakinan yang kuat (aqidah Islam).

Kewajiban Khilafah adalah merupakan konsekuensi keimanan, sebab menegakkan syariah Islam adalah wujud keimanan seorang Muslim. Tanpa Khilafah mustahil seluruh syariah Islam diterapkan. Apalagi, tidak akan mungkin Allah SWT mewajibkan kita bersatu dan menegakkan syariah Islam kalau perintah itu tidak mungkin kita laksanakan! Bukankah Allah tidak akan membebani kita dalam perkara-perkara yang memang kita tidak sanggup.

Termasuk keyakinan akan janji kemenangan dari Allah SWT. Dalam QS An Nuur: 55 Allah telah menjanjikan kemenangan ini kepada mereka yang beriman dan beramal shalih. Demikian juga banyak hadits yang menjanjikan akan kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an Nubuwah.

Memang orang-orang kafir, musuh-musuh Allah tidak akan diam, mereka akan berbuat makar dengan berbagai cara menghalangi kemenangan ini. Tapi yakinlah mereka tidak akan pernah berhasil. Allah SWT telah memastikan kekalahan mereka dalam firman-Nya: “ Tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-siapa belaka” (TQS al Mu’min: 25). Walhasil marilah kita meraih kemenangan yang hakiki dengan meraih ketaqwaan yang sesungguhnya dalam Idul Fitri ini dengan memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. (Farid Wadjdi)

Sumber: http://farid1924.wordpress.com/2010/08/31/idul-fitri-dan-optimisme-perjuangan-khilafah/#more-431

Baca Selengkapnya......

Universitas Kelas Dunia

Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru. Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih menjadi cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu. Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu. Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara. Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics. Aspek penilaian lainnya adalah jumlah paper internasional yang dihasilkan, penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet.

Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia. Terang saja, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India. Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Di Amerika Serikat apa lagi. Benua itu baru ditemukan tahun 1492.

Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Berikutnya adalah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di mesjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.


Universitas ke dua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika. Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.

Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti. Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun! Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun tak main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah. Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas. Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam. Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM). Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam. Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana. Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.

Namun kita tetap optimis. Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.

Sumber: http://famhar.multiply.com/journal/item/189

Baca Selengkapnya......

Krisis Nuklir Dunia dan Solusinya

Perlombaan senjata nuklir dunia tak pelak menghasilkan persediaan ribuan hulu ledak nuklir, berikut alat dan sistem transportasinya, baik di daratan, lautan, maupun di luar angkasa. Untuk menyembunyikan kebusukannya, AS dan Rusia berpura-pura mengupayakan perdamaian dan keamanan dunia. Sepanjang tahun 70-an, 80-an dan 90-an, mereka mengadakan negosiasi panjang yang bertujuan untuk mengurangi (bukan dimaksudkan untuk mengeliminasi) pertumbuhan senjata nuklir. Sejumlah perjanjian ditandatangani dan direvisi, meski realitas di lapangan menunjukkan adanya berbagai perbedaan dengan apa yang tertulis di atas kertas. Tak mengherankan jika jumlah arsenal nuklir yang ada di bumi ini tidak semakin berkurang, namun justru semakin banyak.

Sejarah berbagai perjanjian nuklir itu menunjukkan dengan sangat jelas bahwa masalah kunci terletak pada implementasi yang jujur, dan fakta bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan perimbangan kekuatan dunia.

AS sama sekali tidak pernah menghormati komitmen internasional yang mereka sepakati apabila kepentingannya mengarahkan mereka ke tujuan yang lain.

Adapun negara-negara nuklir di luar kelima kekuatan yang disebut di atas—Afrika Utara, Ukraina, Kazakhstan dan Belarusia—semuanya sudah mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Selain itu ada pula Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sementara itu, Barat terus melancarkan tuduhan terhadap Iran.

India dan Israel

India dan Israel sama sekali tidak berpikir untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Namun demikian, Barat dan AS khususnya seolah menutup mata terhadap program persenjataan nuklir Israel. Sebaliknya, mereka terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Israel, dan tidak pernah meminta—apalagi menekan—Israel untuk bergabung dalam Perjanjian NPT.

Lalu terkait dengan India, AS telah menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir meskipun India menolak kesepakatan NPT. AS juga terus mengembangkan kemampuan nuklir dan peluru kendali India.

Langkah ini diambil agar AS dapat memanfaatkan posisi India sebagai saingan utama melawan Cina, meski hubungannya dengan Pakistan terpaksa harus dipertaruhkan. AS berharap mampu merangkul partai berkuasa di India melalui perjanjian kerjasama nuklir, dan menghadapkan India dengan Pakistan.

Di lain pihak, AS sangat berkepentingan membangun sistem persenjataan nuklir India yang berbatasan dengan Cina. Pengembangan sistem persenjataan India ini diyakini akan mampu membuat Cina sibuk menghadapi risiko potensial sehingga mengurangi kemampuan Cina dalam menghalangi kepentingan AS.

Demikianlah, ketika membahas program pengembangan nuklir di Israel dan India, maka yang menjadi pertimbangan strategis adalah kepentingan AS, bukan kepentingan kemanusiaan atau keadilan.

Korea Utara

Besar kemungkinan rezim Korea Utara—yang didukung oleh Cina—akan menerima sebuah penyelesaian sebagai ganti sejumlah jaminan keamanan dan bantuan ekonomi. Cina tidak menghendaki adanya sebuah rezim bersenjata nuklir di perbatasannya. Hal ini mendorong Korea Utara untuk membuat sebuah penyelesaian damai bagi program pengembangan nuklirnya.

Pakistan

Berbeda dengan India, Pakistan dipandang oleh pemerintah AS sebagai negara yang tidak bertanggung jawab dalam program nuklirnya antara lain dengan tudingan jual-beli nuklir ilegal. Hal ini menjadi alasan bagi pemerintah AS untuk mengakhiri kerjasama pengembangan nuklir dengan Pakistan. AS juga membangun opini tentang adanya ancaman potensial jika bom-bom nuklir Pakistan jatuh ke pihak yang disebut AS sebagai kelompok militan.

Ketika Cina dan Pakistan mengumumkan kerjasama mereka untuk membangun dua reaktor nuklir di Pakistan pada akhir April 2010 lalu, AS menyatakan protes kerasnya, dan menuduh Cina telah melanggar kewajibannya dalam Perjanjian NPT. Demikianlah, secara efektif AS menggunakan segala cara untuk melucuti kemampuan nuklir Pakistan.

Iran

Aktivitas nuklir Iran dimulai sejak masa Shah Iran, ketika pemerintah Iran bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Prancis dan Jerman. Iran telah menandatangani NPT pada tahun 1970. Setelah Revolusi 1979, rezim Iran menghentikan program nuklirnya hingga Presiden Rafsanjani memulainya lagi pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 1995, pemerintah Iran menjalin kerjasama dengan Rusia yang menyelesaikan pembangunan instalasi nuklir yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan Eropa.

Krisis nuklir antara Iran dan Eropa bermula pada tahun 2003, ketika tokoh-tokoh oposisi Iran melancarkan tuduhan bahwa Iran tidak melaporkan aktivitas dan instalasi nuklir rahasia kepada IAEA. Pada 23 Desember 2006, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 1737. Selama itu, AS tidak ikut campur dalam pembicaraan dengan Iran, hingga ia terjun dalam persoalan tersebut setelah resolusi ini keluar. AS bersama negara-negara Eropa (5 anggota tetap DK PBB) dan Jerman bertugas mencari penyelesaian dalam kasus tersebut. Negara-negara Eropa, plus Israel, terus berusaha melibatkan AS dalam persoalan nuklir Iran ini, karena mereka merasa tidak mampu menyelesaikannya sendiri.

AS meminta Turki dan Brazil sebagai perantara untuk mendapatkan kompromi. Pada saat-saat akhir, Iran setuju dengan inisiatif Turki dan Brazil yang didukung AS untuk melaksanakan proses pengayaan lanjutan di luar Iran, yaitu di Turki, dan menandatangani perjanjian di Teheran pada tanggal 7 Mei 2010.

Ketika negara-negara Eropa dan Israel menganggap bahwa kesepakatan tersebut hanyalah pura-pura saja, AS segera mengenakan serangkaian sanksi baru yang akhirnya disetujui oleh DK PBB dengan resolusi no. 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.

Demikianlah, pola itu berlangsung berulang-ulang: tiap kali Eropa dan Israel memanaskan suasana, AS akan terjun untuk mendinginkan krisis tersebut untuk menghindari penggunaan serangan militer sebagai bentuk sanksi terhadap Iran.

Kepentingan AS

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Eropa dan Israel ingin menyelesaikan kasus nuklir Iran secara langsung dengan serangan militer atas fasilitas nuklir Iran, atau paling tidak mengenakan sanksi yang mampu melumpuhkan kekuatannya. Di pihak lain, AS ingin menyelesaikan krisis dengan tingkat intensitas yang rendah, yang diselesaikan dengan sanksi-sanksi yang bersifat umum, yang dikenakan setelah melewati pembicaraan yang panjang.

AS ingin memperpanjang krisis nuklir Iran karena sejumlah alasan, yaitu:

1. Ingin menggunakan ancaman nuklir Iran sebagai alasan untuk menebarkan misil-misil AS yang berbasis di Eropa (Polandia, Cekoslovakia), untuk mengepung Rusia dengan sistem rudal mutakhir yang mampu mencapai pedalaman Rusia. Hal ini juga membuat Eropa tetap berada di bawah payung perlindungan AS dari ancaman potensial yang berasal dari Iran dan Korea Utara.

2. Agar dapat menggunakan Iran sebagai ancaman yang menakutkan negara-negara Teluk sehingga negara-negara tersebut berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini akan menyebabkan AS mempunyai argumentasi untuk memperluas jaringan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah tersebut semata-mata karena menghadapi ancaman dari Iran. Sebagaimana diketahui, di wilayah tersebut terdapat tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia: Arab Saudi, Kuwait dan Iran. Langkah politik tersebut akan memberikan jaminan bagi AS agar dapat mengontrol wilayah kaya minyak tersebut sehingga membuat AS dapat mengontrol kondisi perekonomian global.

3. Sebagai pihak yang berperan sebagai penentu sanksi atas Iran, AS dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin yang “bijaksana”, meski sesungguhnya AS hanya mengelola/memperpanjang krisis tanpa sedikit pun niat bersikap “lemah-lembut”. Demikianlah cara AS “melipat karpet” dari bawah Eropa maupun Israel.

Telah tampak jelas bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha memonopoli senjata nuklir, berikut teknologi yang terkait dengannya, dan membatasi penggunaannya hanya untuk mereka. Amerika, melalui berbagai strategi penyesatannya, mengadakan sejumlah pertemuan dan konvensi, seperti pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nuklir yang diadakan di Washington pada tanggal 13 April 2010. Empat puluh tujuh negara berkumpul bersama mendiskusikan apa yang disebut sebagai keamanan nuklir internasional di balik upaya organisasi-organisasi teroris untuk mendapatkan material nuklir.

AS juga berusaha memperlihatkan upaya serius untuk menciptakan dunia yang bebas senjata nuklir. Obama, misalnya, menandatangani Perjanjian START II di Praha pada tanggal 8 April 2010 bersama Presiden Rusia Medvedev, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa kedua bangsa itu berkomitmen untuk mengurangi secara drastis hulu ledak nuklir yang mereka miliki, diperkuat dengan opini media yang menyebarluaskan informasi tentang bahaya senjata nuklir.

Tujuan diadakannya pertemuan tingkat tinggi itu bukanlah untuk menghapuskan senjata nuklir, tetapi untuk mencegah pengembangannya. Meski demikian, kita melihat kemudian pertunjukan standar ganda AS ketika berurusan dengan India dan Israel.

Pertemuan itu juga untuk mencegah penyebaran dan perbanyakan (proliferasi) uranium yang diperkaya berikut teknologinya ke negara-negara yang tidak diizinkan untuk memilikinya. Walhasil, pertemuan tingkat tinggi itu tidak lebih merupakan sebuah upaya konsolidasi monopoli senjata nuklir untuk mengokohkan kolonialisme poros-poros kekuatan dunia terhadap negara-negara lain.

Pandangan Hizbut Tahrir

Pandangan Hizbut Tahrir adalah pandangan Islami yang digali dari nash-nash syariah. Di antara pandangan itu adalah:

1. Tujuan jihad dalam Islam adalah untuk membangkitkan manusia dengan menyebarluaskan Islam kepada umat manusia, dan bukan dimaksudkan untuk membasmi atau menghancurkan manusia.

a. Islam adalah risalah dari Allah SWT yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia (QS al-Anbiya’: 107)

Dalam Islam haram melukai warga sipil, merusak pepohonan, dan menghancurkan bangunan (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik)

b. Ketika Khalifah Abu Bakar ra memberangkatkan sebuah pasukan ke Suriah, beliau berpesan kepada komandan pasukan, “Saya menasihati engkau dengan sepuluh perintah: jangan membunuh wanita, anak, atau orang tua; jangan memotong pohon berbuah; jangan menghancurkan rumah; jangan membunuh hewan (domba atau unta), kecuali untuk (tujuan) makan; jangan membakar pohon palem dan menebangnya; jangan mencuri; jangan pengecut.” (HR Malik).

c. Semua dalil di atas bertolak belakang dengan politik perang dengan cara pemusnahan umat manusia dan menghasilkan kehancuran yang bersifat massal sebagaimana halnya senjata nuklir. Karena itu, membuat senjata nuklir pada asalnya merupakan perkara yang haram.

2. Namun, ketika satu atau lebih dari satu negara memiliki sistem persenjataan yang sangat mematikan, seperti senjata nuklir, sedangkan kemungkinan penggunaannya semakin meningkat, maka wajib bagi Negara Islam untuk berupaya memiliki sistem persenjataan yang sama (QS al-Baqarah [2]: 194; QS an-Nahl [16]: 126).

Karena itu, Negara Islam diwajibkan memiliki senjata nuklir, jika musuh-musuhnya juga memiliki senjata nuklir.

3. Allah SWT memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan maksimal yang kita miliki untuk menggentarkan orang-orang yang memusuhi kita (QS al-Anfal [8]: 60). Jika musuh memiliki senjata nuklir maka mereka tidak akan merasa gentar berhadapan dengan Negara Islam, kecuali bila Negara Islam memiliki senjata nuklir pula.

Islam melarang Negara Islam menandatangani Perjanjian NPT yang membolehkan negara lain memiliki senjata nuklir. Namun, Islam membolehkan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang diarahkan untuk menghapuskan senjata nuklir. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah berbuat madarat dan hal yang menimbulkan madarat.”

Kami berpendapat itulah tugas yang diemban oleh sebuah negara yang seharusnya menaungi kaum Muslim; negara yang berani berdiri tegak di hadapan negara-negara yang memiliki senjata nuklir; negara yang mampu memaksakan pemboikotan terhadap negara-negara tersebut hingga mereka menghancurkan dan menghapuskan senjata-senjata pemusnah massal semacam itu.

Inilah pendapat Hizbut Tahrir mengenai persoalan Krisis Nuklir Internasional; dan inilah pandangan Negara Islam, Khilafah Rasyidah yang akan tegak dengan izin Allah SWT.

Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/31/krisis-nuklir-dunia-dan-solusinya/

Baca Selengkapnya......

Rabu, 25 Agustus 2010

Dr. Ir. Imaduddin Abdulrahim

Bang Imad, begitu dia biasa disapa. Namanya sangat tidak asing lagi bagi para intelektual Muslim di Indonesia. Kiprahnya dalam dunia dakwah di kampus sangat fenomenal. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Banyak mahasiswa dan sarjana berubah pikiran setelah mendengar ceramah Bang Imad atau membaca tulisannya.

Bang Imad! Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada 21 April 1931/ 3 Zulhijjah 1349H. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga tokohMasyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorangwanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.

Bang Imad dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Sejak kecil ayahnya sendiri yang langsung mengajarnya al-Qur’an, berupa tajwid dan tafsir setiap usai shalat subuh.Dalam mengkaji al-Qur’an, ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Cara itu sangat membekas dalam diri Bang Imad, sehingga membentuk semangat perjuangan Islam. Ayahnya juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan, “Imaduddin” itu berarti ‘penegak tiang agama’. Ia mengingatkan, agar anaknya selalu menegakkan shalat.

Didikan kuat sejak kecil, berbekas dalam diri Imaduddin, sehingga tidaklah mengherankan, sedari muda Imaduddin telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam.
Meskipun aktif dalam kegiatan Islam sejak muda, Imaduddin tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia justru memilih kuliahTeknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah.Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqulkhairat).

Meskipun belajar di perguruan tinggi secular, semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur, tapi malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa, ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung dan menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya di kalangan para aktivis.

Tahun 1963 Bang Imad berangkat keluar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, AmerikaSerikat. Tahun 1965 iamenyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibatnya, terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan. Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Sebagai aktivis, Bang Imad memberanikan diri menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di DepartemenTeknik Elektro.

Konsistensinya dengan ajaran Tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Termasuk pihak penguasa, tak luput dari kritik kerasnya. Tidak mengherankan banyak orang menganggap dirinya sebagai tokoh garis keras. Buku Tauhid yang dikarang oleh Bang Imad, telah menginspirasi ribuan generasi muda Muslim di Indonesia.

Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Masjid Salman ITB, sekelompok orang berpakaian preman datang kerumahnya. Ia lalu dijebloskan ke penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah, selama empat bulan. Akhirnya, Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya dating, meminta kepada Pengkopkamtib Sudomo, waktu itu, agar membebaskan Bang Imad.

Kiprah Bang Imad dalam dakwah sampai menembus dunia internasional. Ia aktif di lembaga-lembaga International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) danWorld Assembly Moslem Youth (WAMY).

Tahun 1970, setelah hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal, Bang Imad menjadi dosen tamu di Universitas Teknologi Malaysia. Di sini, ia terus menggalakkan dakwah. Saat merancang kurikulum, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik.

Mulanya hal ini ditentang oleh rektor karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ditolak. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, dosen, dan mahasiswa, Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.

Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata member kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen, sehingga beberapa di antaranya meminta Bang Imad membuat pelatihan sejenis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia, pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari LatihanTauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagaicontoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya kedalam majalah, setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.

Meskipun sempat tertunda, Bang Imad akhirnya meraih Doktor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valuation dari Iowa State University. Jasanya dalam dunia dakwah sangatlah besar. Pada 2 Agustus 2008, Bang Imad dipanggil Allah SWT. Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri. Bang Imad telah melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.

Generasi berikutnya berkewajiban melanjutkan perjuangannya. (Oleh: Hidayat, M.T., Wendi Zarman, M.Si., Peneliti PIMPIN (InstitutPemikiran Islam dan Pembangunan Insan, Bandung)

Baca Selengkapnya......

Minggu, 22 Agustus 2010

TANTANGAN GHAZWUL FIKRI BAGI AKTIVIS DAKWAH KAMPUS

Oleh : M. Shiddiq al-Jawi**

Pengantar

Tulisan ini bertujuan menjelaskan tiga hal. Pertama, menerangkan bagaimana peta kampus di Indonesia dalam tinjauan ideologi, sekaligus menjelaskan bagaimana perang pemikiran (Ghazwul Fikri) berlangsung atas dasar peta ideologi tersebut. Kedua, menerangkan bagaimana sikap yang harus diambil mahasiswa menghadapi beratnya tantangan perang pemikiran. Ketiga, menerangkan bagaimana mahasiswa muslim mempersiapkan diri agar mampu terjun dalam perang pemikiran ini.

Peta Kampus dalam Ghazwul Fikri

Perang pemikiran (al-ghazw al-fikriy) merupakan keniscayaan bagi umat Islam. Sebab Islam memang agama perjuangan (diin shira') sejak Rasulullah SAW diutus sebagai nabi hingga Hari Kiamat nanti. Perang pemikiran itu intinya adalah pertarungan antara ide Islam (mafahim al-islam) melawan ide kufur (mafahim al-kufr), meski pun bentuk kekufuran itu bisa jadi berbeda-beda pada setiap zaman. (Hatmiyah al-Shira' al-Hadharat, 2002, hal. 24).

Dalam tinjauan ideologis, dewasa ini terdapat tiga ideologi (mabda') yang ada di dunia, yaitu : Islam, demokrasi-kapitalisme (sekularisme), dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme). Maka dalam arena perang pemikiran kontemporer, ide kufur (mafahim al-kufr) yang menjadi musuh Islam tersebut saat ini ada dua ideologi, yaitu demokrasi-kapitalisme dan sosialisme. (Hizb al-Tahrir (al-Ta'rif), 2010, hal. 60).

Dalam konteks sejarah Indonesia, pertarungan tiga ideologi itu nampak jelas sejak paruh pertama abad ke-20 hingga saat ini. Ketiga ideologi itu dikenal dengan sebutan : nasionalis, agama (Islam), dan komunis (ingat istilah "nasakom"). Ideologi Islam dianut oleh gerakan-gerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam (berdiri 1905) yang lalu bertransformasi menjadi Sarekat Islam (berdiri 11 Nopember 1912), Muhammadiyah (berdiri 18 Nopember 1912), Persatuan Islam (Persis) (berdiri awal 1920-an), dan Nahdlatul Ulama (berdiri 31 Januari 1926).

Ideologi nasionalis (baca : sekuler) dianut misalnya oleh Boedi Utomo (berdiri 20 Mei 1908) dan Partai Nasional Indonesia (berdiri tahun 1927). Sementara ideologi sosialis/komunis dianut oleh PKI (berdiri 23 Mei 1920), sebagai transformasi ISDP (Indische Sociaal Democratische Vereniging) yang juga peralihan dari ISDV (Indische Sociaal Democratische Partij). (Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, hal. 138 dan 243).

Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga saat ini, ketiga ideologi tersebut dapat dikatakan masih eksis, tentu dengan dominasi di tangan kaum nasionalis (sekuler) yang memenangkan persaingan ideologi ini. Sedang dua ideologi lain, Islam dan komunis, telah mengalami proses deideologisasi, yaitu proses perlucutan dan penjinakan sebagai ideologi bernegara, sebagai akibat penggunaan strategi penggunaan senjata untuk merebut kekuasaan. (DII/TII tahun 1950-an, dan G 30 S/PKI tahun 1965). Jadi DII/TII dan PKI dilarang di Indonesia sebenarnya bukan karena ideologinya, tapi lebih karena mengadopsi strategi penggunaan senjata untuk memperoleh kekuasaan.

Dari sinilah, maka kita akan dapat melihat peta kampus Indonesia dalam Ghazwul Fikri menurut perspektif ideologi. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, maka kondisi kampus dapat dikatakan adalah potret mini dari masyarakat luas. Jika di masyarakat eksis tiga ideologi besar dunia, maka demikian pula realitas di kampus. Tentu saja kampus memiliki perbedaan dengan kondisi masyarakat di luar kampus, karena kampus merupakan masyarakat ilmiah sebagai wahana intelektual dan pendidikan.

Sebuah survei membuktikan eksisnya tiga ideologi tersebut. Pada tahun 2006 dilakukan survei oleh sebuah gerakan nasionalis terhadap para mahasiswa dari lima perguruan tinggi terkemuka di Indonesia (UI, ITB, UGM, UNAIR, dan UNIBRAW). Mereka ditanya apa pilihan pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang paling layak untuk Indonesia. Hasilnya, yang memilih Syariah (Islam) sebanyak 80 %, yang memilih Sosialisme 14,5%, dan yang memilih Pancasila hanya 4,5% (Kompas, 4 Maret 2008).

Terlepas dari besar kecilnya persentase, survei tersebut dengan jelas menunjukkan eksistensi tiga ideologi yang ada di kampus. Namun meski yang memilih Islam berjumlah mayoritas, bukan berarti dalam peta Ghazwul Fikri mahasiswa Islam dominan mewarnai kehidupan kampus. Secara umum mahasiswa Islam masih menjadi pihak pecundang dan terjajah oleh ideologi asing. Sebab perlu diingat, kampus itu sendiri itu adalah bagian dari sistem pendidikan yang tetap mengacu kepada ideologi sekularisme.

Dalam kaitan ini, Nasim Butt dalam bukunya Sains dan Masyarakat Islam menegaskan bahwa kurikulum pendidikan di sebagian besar di negeri-negeri Islam saat ini adalah produk kolonial murni, yaitu sistem pendidikan yang didasarkan pada sekularisme yang mendikotomikan antara agama dan negara. (Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, 1996, hal. 22 dan 129).

Dengan uraian ini, jelaslah siapa saja pihak yang menjadi lawan mahasiswa Islam dalam Ghazwul Fikri di lingkungan kampus. Pertama, adalah kelompok-kelompok dari dua ideologi lain, yaitu sosialisme dan sekularisme. Kedua, adalah sistem pendidikan di kampus itu sendiri yang mendasarkan kurikulumnya pada sekularisme.

Kelompok sosialis jumlahnya lebih sedikit daripada kelompok sekuler, meski mungkin mereka lebih militan. Sedikitnya kelompok sosialis itu mungkin karena dampak hancurnya Uni Soviet awal tahun 1990-an yang membuat orang tak percaya lagi pada sosialisme. Namun kepedulian mereka kepada rakyat kecil masih menyisakan daya tarik, apalagi di tengah penerapan neoliberalisme saat ini yang terus menerus membuat rakyat menderita. Anak muda yang bersemangat tapi awam ideologi masih dapat tertarik dengan propaganda murahan mereka yang terkesan pro-rakyat.

Eksistensi kelompok sosialis ini dapat ditengarai dengan beberapa indikasi. Misalnya aksi-aksi demo tertentu yang khas gaya kaum kiri, yaitu selalu mencoba membenturkan pemerintah dan rakyat. Juga adanya buku-buku tertentu yang terindikasi dari golongan kiri. Misalnya, buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku, dengan editor Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (Yogyakarta : Merakesumba, 2008). Muhidin M. Dahlan yang dikenal dekat dengan Pramoedya Ananta Toer ini pernah menulis buku yang amat mendiskreditkan aktivis Islam, judulnya Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Jakarta : Melibas, 2003).

Indikasi lainnya adalah adanya klub-klub kajian buku-buku sosialis lama. Misalnya yang ada di sebuah kampus negeri terkenal di Yogyakarta. Beberapa buku yang mudah didapatkan di kalangan sosialis itu misalnya; buku karya Lenin berjudul Negara dan Revolusi Adjaran Marxis Tentang Negara dan Tugas2 Proletariat di Dalam Revolusi (Djakarta : Jajasan Pembaruan, 1961). Juga buku karya F. Engels berjudul Perkembangan Sosialisme Dari Utopia Mendjadi Ilmu (Djakarta : Jajasan Pembaruan, 1963); dan buku karya Stalin berjudul Materialisme Dialektik dan Histori (Djakarta : Jajasan Pembaruan, 1955).

Sebagian aktivis Islam ada yang mencoba melakukan sinkretisme (yang gagal) antara Islam dan Sosialisme. Buku Sosialisme Religius karya Awalil Rizki menjadi satu contohnya. Termasuk kategori ini penulis produktif (dan provokatif) seperti Prasetyo dengan karyanya seperti Orang Miskin Dilarang Sakit, Orang Miskin Dilarang Sekolah, dan sebagainya.

Adapun kelompok sekuler (liberal) lebih mudah dijumpai di kampus daripada kelompok sosialis. Mereka ini macam-macam bentuknya, jangan dibayangkan hanya JIL (Jaringan Islam Liberal) saja, yang pernah dipimpin oleh manusia gagal Ulil Abshar Abdalla. Sebagai aktivis yang gemar memanipulasi ajaran Islam, barangkali Ulil dapat dibilang cukup berani dan vulgar. (Lihat bukunya Menjadi Muslim Liberal (Jakarta : Jaringan Islam Liberal – Freedom Institute, 2005). Namun sebagai insan akademis, orang patut meragukan kemampuan berpikir Ulil. Karena ternyata Ulil mengalami DO (drop out) dua kali; pertama dari program S-1 LIPIA Jakarta dan kedua dari program doktoral Harvard University di AS. (www.voa-islam.com).

Sekali lagi yang berideologi sekuler-liberal bukan hanya JIL. Bisa jadi dia adalah dosen atau malah rektor di sebuah kampus negeri yang terkenal. Atau seorang tokoh nasional yang banyak dikagumi orang. Atau seorang aktivis dan peneliti dari NGO tertentu. Bacalah misalnya buku berjudul Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta : PSAP, 2007) yang diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Juga buku Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia karya sejumlah orang yang tidak jelas, dengan editor KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta : LibForAll, 2009). Atau karya M. Imdadun Rahmat berjudul Ideologi Politik PKS (Yogyakarta : LKiS, 2008). Atau buku karya M. Hasbi Amiruddin berjudul Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta : UII Press, 2000).

Ini sekedar contoh bahwa ide sekuler-liberal sesungguhnya telah diemban oleh orang-orang dari berbagai kelompok dan lapisan, bukan hanya diemban oleh JIL yang telah difatwakan sesat oleh MUI tahun 2005.

Sistem pendidikan juga menjadi satu pihak yang perlu dihadapi dalam Ghazwul Fikri antara Islam versus sekularisme ini. Salah satu modusnya adalah pengajaran agama Islam yang tidak komprehensif. Islam hanya diajarkan sebatas agama spiritual dan pribadi, bukan agama yang mengatur segala aspek kehidupan.

Akibatnya, peserta didik tak tahu apa itu Khilafah (Imamah), dan tak tahu bahwa Khilafah adalah juga suatu kewajiban agama, sebagaimana kewajiban sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Jelas ini manipulasi ajaran Islam, atau setidaknya adalah tindakan menyembunyikan ilmu (kitman al-'ilm) yang amat jahat oleh pihak-pihak pembuat sistem pendidikan.

Kalaupun diajarkan Fikih Siyasah yang membahas persoalan Khilafah, yang dijadikan acuan dan dianggap benar selalu literatur yang menentang wajibnya Khilafah dan membenarkan demokrasi. Misalkan buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam (Al-Islam wa Ushul al-Hukm) karya Ali Abdur Raziq (Bandung : Pustaka, 1985). Atau paling tidak mahasiswa dianjurkan membaca buku-buku Noercholish Madjid semisal Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), atau yang berjudul Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan (Bandung : Mizan, 1989).

Dengan membaca buku-buku ini, mahasiswa di kampus akan digiring untuk berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada Negara Islam (Khilafah/Imamah). Sebaliknya mereka akan diarahkan untuk meyakini sistem pemerintahan yang justru dari negara penjajah, yaitu demokrasi.


Apa Yang Harus Dilakukan?

Apa yang harus dilakukan mahasiswa menghadapi fenomena gencarnya Ghazwul Fikr yang selalu marak dan berpusat di pusaran intelektual kampus? Tentu yang utama adalah tetap istiqomah, dan selanjutnya melakukan persiapan (isti'dad) untuk terjun dalam Ghazwul Fikri menghadapi ideologi kufur Sosialisme dan Sekularisme yang mencengkeram kehidupan saat ini.

Istiqomah, artinya teguh pendirian dan tetap meyakini Islam sebagai cara hidup (ideologi/the way of life). Juga berarti sabar, tidak mudah tunduk dan tergiur untuk mengikuti ajakan-ajakan batil dari ideologi-ideologi selain Islam.

Rasulullah SAW bersabda :

ان من ورائكم أيام الصبر، الصبر فيهن مثل القبض على الجمر للعامل فيهن أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله، قيل : يا رسول الله أجر خمسين منهم؟ قال: بل أجر أجر خمسين منكم

"Sesungguhnya di belakang kalian akan ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada hari-hari itu bagaikan memegang bara api. Namun bagi orang yang mengamalkan (ajaran Islam) pada hari-hari itu, akan mendapat pahala 50 orang yang mengamalkan semisal ajaran itu." Ada yang bertanya,"Wahai Rasulullah, apakah maksudnya mendapat 50 pahala dari orang di kalangan mereka?" Rasulullah SAW menjawab,"Tidak, tapi mendapat 50 pahala dari orang di antara kalian (para sahabat)." (HR Abu Dawud, dengan sanad hasan).

Hadis ini menerangkan bahwa setelah wafatnya Rasulullah SAW akan datang masa-masa sulit, di mana saat itu orang yang istiqamah dengan ajaran Islam, akan seperti memegang segenggam bara api. Memang sangatlah panasnya. Tapi pahalanya ternyata sangat agung dan mulia, karena setara dengan pahala 50 orang sahabat Nabi SAW yang mengamalkan ajaran itu. Subhanallah.

Rasulullah SAW bersabda :

َألاَ إِنَّ رَحَى الإِسْلاَمِ دَائِرَةٌ؛ فَدُورُواْ مَعَ الإِسْلاَمِ حَيْثُ دَارَ، أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ

"Perhatikanlah, sesungguhnya roda Islam akan berputar, maka berputarlah bersama Islam di mana saja Islam itu berada. Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur'an dan kekuasaan akan terpisah. Maka janganlah kamu memisahkan diri dari al-Qur'an." (HR at-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Shaghir, hadits no. 794; Lihat juga Al-Haitsami, Majma' az-Zawa'id, V/225-226).

Hadis ini memerintahkan kita mengikuti Islam, di mana pun juga Islam berada. Hadis ini juga menjelaskan pada suatu saat urusan kekuasaan akan terpisah dari ajaran Islam yang berpangkal pada Al-Qur'an. Maka jika suatu saat kondisi ini terjadi –barangkali seperti saat ini ketika Sekularisme dipaksanakan setelah hancurnya Khilafah di Turki 1924— kita umat Islam diperintahkan Nabi SAW untuk tetap istiqamah dan setia berpegang teguh dengan Al-Qur'an.

Rasulullah SAW bersabda :

لَيَنْقضَنَّ عُرَى الإسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً ، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا، وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ؛ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

"Sungguh buhul-buhul ajaran Islam akan terurai satu demi satu. Setiap kali satu buhul ajaran terurai, orang-orang akan bergelantungan pada buhul tali selanjutnya yang tersisa. Yang pertama akan terurai adalah pemerintahan, dan yang terakhir adalah sholat." (HR Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad V/251 dengan isnad sahih).

Dalam hadis ini Nabi SAW menjelaskan ajaran Islam akan hancur (tak diamalkan lagi) satu demi satu. Menurut Syaikh Hisyam al-Badrani dalam kitabnya an-Nizham as-Siyasi Ba'da Hadm Daulah al-Khilafah, bahwa yang pertama terurai adalah pemerintahan, maksudnya adalah ketika sistem pemerintahan berubah dari sistem syura (pilihan rakyat) pada masa Khulafa' Rasyidin, menjadi sistem turun temurun yang mirip sistem kerajaan pada masa Bani Umayyah.

Sedang yang terakhir terurai adalah sholat, maksudnya adalah ketika seluruh hukum-hukum Islam tidak diamalkan lagi dengan hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924. Karena lafazh "sholat" dalam hadis ini maknanya adalah makna kinayah, yaitu menyatakan sebagian ajaran/hukum Islam (sholat) namun yang dimaksud adalah keseluruhan hukum-hukum Islam (dalam negara Khilafah). (Hisyam al-Badrani, an-Nizham as-Siyasi Ba'da Hadmi Daulah al-Khilafah, hal. 39).


Persiapan Ghazwul Fikri

Untuk terjun ke dalam kancah Ghazwul Fikri, terdapat dua persiapan utama yang harus dilakukan mahasiswa :

Pertama, mengkaji ajaran Islam (mafahim al-islam) secara benar sehingga diperoleh pemahaman komprehensif tentang Islam sendiri.

Kedua, mengkaji ide-ide kufur (mafahim al-kufr) yang akan menjadi sasaran serangan kita dalam Ghazwul Fikri, khususnya Sosialisme dan demokrasi-sekularisme, beserta segala ide dan faham yang menjadi derivat dari keduanya. Misalnya demokrasi, pluralisme, nasionalisme, dialog antar agama, globalisasi, privatisasi, feminisme, relativisme, dan seterusnya.

Kedua langkah di atas hendaklah dilaksanakan secara berurutan. Belajarlah Islam lebih dulu, barulah belajar ide-ide kufur. Sebab secara alamiah orang umumnya akan meyakini ide yang lebih dulu dipelajari. Ide awal ini biasanya akan dijadikan standar (miqyas) untuk menilai ide-ide yang dipelajari kemudian.

Pada langkah pertama, Islam yang dikaji hendaknya dikaji melalui bagian-bagian pokok ajaran Islam, yaitu Aqidah Islam lebih dahulu, kemudian Syariah Islam. Tentu bukan Syariah secara parsial (misal hanya rukun Islam), melainkan Syariah Islam secara komprehensif, termasuk sistem pemerintahan Islam (Khilafah), sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, politik luar negeri, dan seterusnya.

Dengan demikian akan diperoleh gambaran konsep Islam secara utuh sebagai sebuah ideologi atau cara hidup (the way of life). Barangkali kitab Nizhamul Islam karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani dapat menjadi contoh untuk kajian Islam yang demikian ini.

Setelah memahami bagian-bagian pokoknya, kajian dapat diperdalam dengan mengkaji Islam melalui ilmu-ilmu dasarnya (tsaqafah Islamiyah), yang meliputi : Ulumul Qur'an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih, Bahasa Arab, Fiqih, dan Sirah Nabi / Tarikh (Sejarah Islam). Sebelum menerjuni masing-masingnya secara mendalam, ada baiknya mengkaji garis-garis besar ilmu-ilmu itu. Mungkin kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani dapat menjadi salah satu contoh kitab untuk tujuan ini.

Pada setiap cabang ilmu dasar itu, diperlukan kajian terhadap ide-ide kaum orientalis kafir yang senantiasa berusaha melontarkan keragu-raguan kepada umat Islam. Misal dalam Ulumul Qur'an, perlu dikaji ide-ide orientalis yang berusaha meragukan keabsahan mushaf Utsmani. Demikian juga dalam Ulumul Hadits, dan seterusnya. Buku-buku Muhammad Mustafa al-A'zhami sangat bagus untuk keperluan ini, misalkan bukunya yang berjudul The History of The Qur'anic Text (Jakarta : GIP, 2005).

Pada langkah kedua, yaitu mempelajari ide-ide kufur (khususnya ideologi Sosialisme dan Sekularisme), hendaknya dipelajari materi pengantar yaitu perbandingan ideologi (muqaranah al-mabadi') antara ideologi Islam, Sosialisme, dan Sekularisme. Mungkin kitab Ath-Thariq karya Ahmad 'Athiyat dapat dipergunakan untuk tujuan ini. Dapat juga kita menambah wawasan dengan membaca Isme-Isme Dewasa ini (Today's Isms) karya Ebenstein dan Frank Vogel, atau buku Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today) karya Ian Adams.

Setelah materi pengantar itu, barulah dikaji secara rinci masing-masing ideologi kufur secara mendalam. Misalnya untuk mengkaji Sosialisme, dapat dikaji kitab Naqdh al-Isytirakiyah al-Marksiyah karya Syaikh Ghanim Abduh. Untuk mengkaji Sekularisme/Kapitalisme dapat dikaji kitab Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah karya Syaikh Fahmi Thabib. Bagus juga kitab karya Abul Hasan Ali an-Nadwi yaitu ash-Shira' Baina Al-Fikrah al-Islamiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah. Buku Modernism karya Maryam Jameelah bagus juga untuk keperluan ini.

Khusus untuk kritik terhadap ide Sekularisasi Nurcholish Madjid, dapat dibaca buku karya Faisal Ismail berjudul Membongkar Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi Islam (Jakarta : Lasswell Visitama, 2010). Untuk mengkaji ide-ide liberal secara kritis, bagus kalau kita menelaah buku semisal Orientalis & Diabolisme Pemikiran, karya Syamsuddin Arif (Jakarta : GIP, 2008). Untuk menjawab buku Ilusi Negara Islam, baik juga dibaca buku Ilusi Negara Demokrasi karya Farid Wadjdi dkk (Bogor : Al Azhar Press, 2009).

Perlu dicatat, untuk melakukan berbagai kajian di atas, sangatlah dianjurkan menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Arab akan sangat membantu dalam kajian ide Islam. Sedang bahasa Inggris, atau mungkin bahasa lainnya seperti bahasa Perancis, Jerman, dll, akan sangat diperlukan saat kita mempelajari ide selain Islam.

Secara hukum, melakukan persiapan Ghazwul Fikri ini hukumnya adalah wajib karena ia merupakan bagian aktivitas dakwah yang hukumnya wajib (QS An-Nahl : 125; QS Fushilat : 33). Hanya saja kewajiban ini sifatnya fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Sebab melakukan Ghazwul Fikri termasuk aktivitas yang memerlukan keahlian khusus, seperti halnya menjadi ahli tafsir, ahli fiqih, dan sebagainya yang hukumnya fardhu kifayah, bukan fardhu ain.


Penutup

Memang, terjun ke dalam pergolakan pemikiran ini sangat berat. Karena persiapannya saja memerlukan kajian yang tidak ringan dan tak sedikit. Apalagi saat kita nanti benar-benar terjun di dalamnya, tentu kesulitan dan tantangannya akan lebih berat lagi. Ingat bagaimana Ismail Raji al-Faruqi dan Lamiya isterinya yang mati syahid diberondong Mossad karena sering mengkritik negara Yahudi (Israel). Atau Sayyid Quthub dan Abdul Qadir Audah yang harus menghadapi tiang gantungan lantaran menentang pemerintahan Mesir yang menerapkan sekulerisme sekaligus militerisme yang kejam atas umat islam.

Namun di balik beratnya melakukan tugas suci nan mulia ini, Allah SWT sudah pasti tiada menyia-nyiakan amal para hamba-Nya. Allah SWT menjajikan pula pahala yang besar. Semakin berat kesulitan kita, akan semakin agung pahala dari Allah, insya Allah. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa kaana aktsara fi'lan kaana aktsara fadhlan (Apa saja yang lebih banyak susah payahnya, akan lebih besar pula pahalanya). (Muhammad Shidqi al-Burnu, Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, IX/171). Wallahu a'lam bi al-shawab.

= = =

*Makalah disampaikan dalam Sekolah Singkat Lembaga Dakwah Kampus, dengan tema "Fight Against Ghazwul Fikri", diselenggarakan oleh Panitia Ramadhan di Kampus (RDK) Jamaah Shalahuddin UGM, 22 Agustus 2010, di Asrama Haji Yogyakarta.

**Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia. E-mail : shiddiq_aljawi@hizbut-tahrir.or.id. No HP : 081328744133

Baca Selengkapnya......

Rabu, 04 Agustus 2010

Poros Kehidupan


Saudaraku, tahukah apa artinya menjadikan dakwah sebagai poros?

Artinya memilih dan melakukan setiap aktivitas dengan mempertimbangkan bahwa dakwah akan tetap terlaksana bagaimanapun keadaannya.

Artinya tidak akan mengambil jalan kompromi atau jalan tengah hanya agar tidak ada satupun kepentingan kita yang terkorbankan.

Artinya tetap melaksanakan dakwah tanpa takut akan hinaan orang-orang yang menghina, celaan orang-orang yang mencela, dimarahi orangtua, kehilangan pekerjaan, kehilangan teman-teman bahkan kehilangan nyawa sekalipun.

Karena pada dasarnya kita telah membeli surga Allah dengan harta dan jiwa kita.

Maka, yang kita takutkan bukanlah kehilangan pekerjaan sehingga tak ada uang untuk makan hari ini.
Bukanlah kemarahan orangtua karena kita menomorduakan kuliah atau pekerjaan kita setelah dakwah.
Bukan pula kehilangan teman-teman karena kita lebih memilih untuk berdakwah hari ini daripada “nongkrong” bersama mereka.

TAPI…….
Yang kita takutkan adalah amarah Allah ketika kita menomorduakan kewajiban dakwah ini,
Takut akan azab Allah yang menggantikan surga yang tadinya ingin kita beli dengan harta dan jiwa kita.


Jadi……
Tunggu apa lagi saudaraku?
Jangan menunggu hingga malaikat Izrail datang………
Bahkan jangan menunggu hingga kiamat tiba……
Dan kita baru tergesa-gesa ingin segera menunaikan kewajiban ini
Setelah semuanya terlambat
Dan tidak ada artinya lagi……

Baca Selengkapnya......

Selasa, 29 Juni 2010

Mengkaji Politik Perindustrian dalam Islam

Oleh Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Bakosurtanal dan Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan
Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan. Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:

Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.

Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi. Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.

Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi. Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

Fakta teori pertumbuhan ekonomi
Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan. Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:

Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini. Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia). Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional. Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan. Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.

Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan. Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.

Fakta pandangan kebangkitan teknologi
Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka.

Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya. Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia. Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat.

Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini. Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia. Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional. Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.

Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia. Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni). Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.

Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada. Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara. Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi. Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut. Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas.

Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri. Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.

Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis. Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi. Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.

Fakta industri dan kemandirian
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, World Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.

Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.

Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.

Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.

Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi.

Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.

Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri.

Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

Strategi Perindustrian dalam Islam
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.

Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya. Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.

Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.

… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)

Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)

Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju. Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara. Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer. Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

Revolusi Industri
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.

Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20.

Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana. Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat. Selain itu hanya kipas angin. Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India! Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa. Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India!

Demikian juga Cina. Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.

Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya. Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

Investasi dan Kepemilikan Industri
Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar. Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek. Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung. Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama. Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.

Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.

Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya. Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.

Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum. Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya. Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan. Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.

Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.

Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN. Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?

Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain. Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.

Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat. Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam. Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah. Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.

Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis. Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.
Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah. Wallahu a’lam.

Bacaan Lanjut:
Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla). Bangil: Al-Izzah. 2001.

Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology). Mizan, 1993.

Baca Selengkapnya......

Dibalik Penemuan Kacamata

Kacamata merupakan salah satu penemuan terpenting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Setiap peradaban mengklaim sebagai penemu kacamata. Akibatnya, asal-usul kacamata pun cenderung tak jelas dari mana dan kapan ditemukan.

Lutfallah Gari, seorang peneliti sejarah sains dan teknologi Islam dari Arab Saudi mencoba menelusuri rahasia penemuan kacamata secara mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah sumber asli dan meneliti literatur tambahan. Investigasi yang dilakukannya itu membuahkan sebuah titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.

Lewat tulisannya bertajuk The Invention of Spectacles between the East and the West, Lutfallah mengungkapkan, peradaban Barat kerap mengklaim sebegai penemu kacamata. Padahal, jauh sebelum masyarakat Barat mengenal kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut dia, dunia Barat telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah sebuah mitos dan kebohongan belaka.

''Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat Etnosentrisme,'' papar Lutfallah. Menurut dia, sebelum peradaban manusia mengenal kacamata, para ilmuwan dari berbagai peradaban telah menemukan lensa. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.

Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani, Hellenistik dan Islam. Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat itu tidak digunakan untuk magnification (perbesaran), tapi untuk pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus lensa/titik api lensa.
Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum "pembakaran kaca/
burning mirrors". ''Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur yang dikarang sarjana Muslim pada era peradaban Islam,'' tutur Lutfallah. Menurut dia, fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham (965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (tentang optik) telah mempelajarai masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.

Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan tanpa warna seperti kaca, udara dan air. "Bentuk-bentuk benda yang terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat benda tanpa warna". Ini merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna," tutur al-Haitham seperti dikutip Lutfallah.

Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada abad ke-11 itu telah mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui permukaan tanpa warna. Namun, al-Haitham belum mengetahui aplikasi yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.

Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih awal tiga ratus tahun dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi karya Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair yang menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis sekitar 200 tahun, sebelum masyarakat Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain sebagai berikut:
''Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,'' tutur al-Hamdis.

Al-Hamdis melanjutkan, ''Ini seperti seorang yang manusia yang pintar, yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orang tua yang lemah penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka.''

Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai penemu kacamata pertama. Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, "Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu (rock)".

Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata merupakan alat pengobatan yang terbaik bagi orang tua yang menderita cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan menggunakan kacamata, papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran.

Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai berikut: "Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungai". Menurut penelitian Lutfallah, penggunaan kacamata mulai meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu terungkap dalam lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.

Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan kacamata. "Usia tua datang setelah muda, saya pernah mempunyai penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya terbuat dari kaca." Sementara itu,sSejarawan al-Sakhawi, mengungkapkan, tentang seorang kaligrafer Sharaf Ibnu Amir al-Mardini (wafat tahun 1447 M). "Dia meninggal pada usia melewati 100 tahun; dia pernah memiliki pikiran sehat dan dia melanjutkan menulis tanpa cermin/kaca. "Sebuah cermin disini rupanya seperti lensa,'' papar al-Sakhawi.

Fakta lain yang mampu membuktikan bahwa peradaban Islam telah lebih dulu menemukan kacamata adalah pencapaian dokter Muslim dalam ophtalmologi, ilmu tentang mata. Dalam karanya tentang ophtalmologi, Julius Hirschberg , menyebutkan, dokter spesialis mata Muslim tak menyebutkan kacamata. ''Namun itu tak berarti bahwa peradaban Islam tak mengenal kacamata,'' tegas Lutfallah.

Eropa dan Penemuan Kacamata
Pada abad ke-13 M, sarjana Inggris, Roger Bacon (1214 M - 1294 M), menulis tentang kaca pembesar dan menjelaskan bagaimana membesarkan benda menggunakan sepotong kaca. "Untuk alasan ini, alat-alat ini sangat bermanfaat untuk orang-orang tua dan orang-orang yang memiliki kelamahan pada penglihatan, alat ini disediakan untuk mereka agar bisa melihat benda yang kecil, jika itu cukup diperbesar," jelas Roger Bacon. Beberapa sejarawan ilmu pengetahuan menyebutkan Bacon telah mengadopsi ilmu pengetahuannya dari ilmuwan Muslim, Ibnu al-Haitam. Bacon terpengaruh dengan kitab yang ditulis al-Haitham berjudul Ktab al-Manazir Kitab tentang Optik. Kitab karya al-Haitham itu ternyata telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Ide pembesaran dengan bentuk kaca telah dicetuskan jauh sebelumnya oleh al-Haitham. Namun, sayangnya dari beberapa bukti yang ada, penggunaan kaca pembesar untuk membaca pertama disebutkan dalam bukunya Bacon.

Julius Hirschberg, sejarawan ophthalmologi (ilmu pengobatan mata), menyebutkan dalam bukunya, bahwa perbesaran batu diawali dengan penemuan kaca pembesar dan barulah kacamata tahun 1300 atau abad ke-13 M. "Ibnu al-Haitham hanya melakukan penelitian mengenai pembesaran pada abad ke - 11 M," cetusnya Hirschberg.
Kacamata pertama disebutkan dalam buku pengobatan di Eropa pada abad ke-14 M. Bernard Gordon, Profesor pengobatan di Universitas Montpellier di selatan Perancis, mengatakan di tahun 1305 M tentang tetes mata (obat mata) sebagai alternatif bagi orang-orang tua yang tidak menggunakan kacamata. Tahun 1353 M, Guy de Chauliac menyebutkan jenis obat mata lain untuk menyembuhkan mata, dia mengatakan lebih baik menggunakan kacamata jika obat mata tidak berfungsi.

Selain para ilmuwan di atas, adapula tiga cerita yang berbeda disebutkan oleh sarjana Italia, Redi (wafat tahun 1697). Cerita pertama, disebutkan dalam manuskrip Redi tahun 1299 M. Disebutkan dalam pembukaan bahwa pengarang adalah orang yang sudah tua dan tidak bisa membaca tanpa kacamata, yang ditemukan pada zamannya.

Cerita kedua, juga diceritakan oleh Redi, menunjukkan bahwa kacamata disebutkan dalam sebuah pidato yang jelas tahun 1305 M, dimana pembicara mengatakan bahwa perlatan ini ditemukan tidak lebih cepat dari 20 tahun sebelum pidato tersebut diungkapkan.

Cerita ketiga, menyebutkan bahwa biarawan (the monk) Alexander dari Spina (sebelah timur Itali) belajar bagaimana menggunakan kacamata. Dia wafat tahun 1313 M.

Akhirnya tiga versi cerita berbeda tersebut menyebarluas, karena banyak buku lain yang mengadopsi cerita-cerita yang disebutkan Redi setelah dia wafat. Namun, beberapa sejarahwan ilmu pengetahuan mengatakan bahwa Redi telah membuat cerita bohong dan mereka tidak percaya.

Bahkan, dalam buku Julius Hirschberg, juga disebutkan tentang cerita Redi itu, ditulis antara tahun 1899 dan 1918 di Jerman dan banyak informasi yang sudah tua dan banyak yang diperbaharui. Buku tersebut kemudian diterjemahkan (tanpa revisi) ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan tahun 1985. Hasilnya, cerita Redi menyebar di Inggris, artikel penelitian itu ditolak kebenaran ceritanya dan ini ditolak Julius Hirschberg.Beberapa cerita bohong lain juga ditulis oleh seorang jurnalis di pertengahan abad ke 19 M. Dia mengklaim Roger Bacon merupakan penemu kacamata seperti. Bahkan ia juga menyebutkan bahwa biarawan (the Monk) Alexander juga telah diajarkan Roger Bacon bagaimana menggunakan kacamata. Kabar ini tentu saja dengan cepat menyebar.

Kebohongan lain juga terlihat pada sebuah nisan. Seorang pengarang menunjukkan bahwa sebuah nisan di kuburan Nasrani yang berada di gereja, tertulis sebuah kalimat, "disini beristirahat Florence, penemu kacamata, Tuhan mengampuni dosanya, tahun 1317". Masih banyak cerita atau mitos lainnya tentang penemu dan pembuatan kacamata di Eropa. Semua mengklaim sebagai penemu pertama alat bantu baca dan melihat itu.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/47404/Rahasia_di_Balik_Penemuan_Kacamata

Baca Selengkapnya......