Sabtu, 04 September 2010

Idul Fitri dan Optimisme Perjuangan Khilafah

Perjuangan Khilafah adalah cita-cita besar yang sangat penting, konsekuensinya tentu membutuhkan kerja yang besar, kecerdasan yang tinggi, pengorbanan yang besar sekaligus kesabaran yang super.

Ramadhan berlalu, umat Islam bersiap-siap menyambut hari besar umat Islam idul Fitri. Hari besar ini sering disebut hari kemenangan dan kegembiran umat Islam. Pertanyaan pentingnya benarkah kita telah meraih kemenangan yang hakiki? Benarkah kita pantas bergembira?

Kita pantas bergembira kalau memang kita benar-benar telah meraih apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT dari shaum kita pada bulan Ramadhan yakni ketaqwaan. Inilah alat ukur dari keberhasilan shaum kita, apakah kita semakin bertaqwa atau malah sebaliknya. Ukuran ketaqwaan juga sangat jelas, apakah kita sudah menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan seluruh larangannya atau tidak.

Imam al Hasan al Bashri menjelaskan kepada kita pengertian taqwa dengan gamblang yakni menjaga dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT dan melaksanakan segala perintah-Nya. Sementara Ibnu Abbas memberikan substansi taqwa itu dengan sikap khawatir kaum Muslimin dari sanksi (uqubat) yang akan ditimpakan Allah kepadanya (karena perbuatan yang dilakukannya), sekaligus harapan akan rahmat-Nya.

Kalau kita jujur tentu kita akan mengatakan bahwa kita belum benar-benar bertaqwa. Itu artinya, kita belum benar-benar meraih kemenangan dari Ramadhan kita ini. Buktinya masih banyak hukum-hukum Allah SWT yang belum kita terapkan. Padahal kita diperintahkan untuk taat kepada seluruh hukum-hukumnya secara totalitas. Salahsatunya ditegaskan dalam Alquran: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah: 208).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I dijelaskan makna ayat ini yakni: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, membenarkan Rasul-Nya: agar mengambil seluruh pegangan Islam dan seluruh syariah, dan menjalankan seluruh perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuannya.

Penyebab mendasar tidak diterapkannya seluruh syariah Islam adalah karena kita tidak memiliki institusi politik (negara) ad daulah al Khilafah yang secara formal menerapkan syariah Islam. Tanpa negara Khilafah ini banyak syariah Islam yang tidak kita bisa kita terapkan. Kita memang bisa shalat meski tanpa negara Khilafah, namun tanpa Khilafah kita tidak bisa menghukum orang yang tidak shalat secara terang-terangan. Kita bisa shaum tanpa negara Khilafah, namun kita tidak bisa menghukum orang yang tidak shaum tanpa alasan syar’i.

Tanpa negara Khilafah kita bisa menasihati seseorang agar tidak berzina, tapi siapa yang akan menghukum orang yang berzina kalau tidak ada khilafah? Hukum-hukum yang lain jelas membutuhkan Daulah Khilafah: seperti penetapan mata uang resmi negara dinar dan dirham (yang berdasarkan emas dan perak), pencegahan barang tambang dikuasai oleh asing (swasta) karena merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah), menjalankan politik luar negeri dakwah dan jihad.

Memang memperjuangkan kembalinya Khilafah adalah persoalan yang berat. Tapi itulah konsekuensi dari cita-cita besar yang sangat penting. Tentu membutuhkan kerja yang besar, kecerdasan yang tinggi, pengorbanan yang besar sekaligus kesabaran yang super. Karena itu kita tidak boleh pesimistis apalagi menganggap perjuangan ini utopis. Modal utama dari keberhasilan perjuangan ini adalah keyakinan yang kuat (aqidah Islam).

Kewajiban Khilafah adalah merupakan konsekuensi keimanan, sebab menegakkan syariah Islam adalah wujud keimanan seorang Muslim. Tanpa Khilafah mustahil seluruh syariah Islam diterapkan. Apalagi, tidak akan mungkin Allah SWT mewajibkan kita bersatu dan menegakkan syariah Islam kalau perintah itu tidak mungkin kita laksanakan! Bukankah Allah tidak akan membebani kita dalam perkara-perkara yang memang kita tidak sanggup.

Termasuk keyakinan akan janji kemenangan dari Allah SWT. Dalam QS An Nuur: 55 Allah telah menjanjikan kemenangan ini kepada mereka yang beriman dan beramal shalih. Demikian juga banyak hadits yang menjanjikan akan kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an Nubuwah.

Memang orang-orang kafir, musuh-musuh Allah tidak akan diam, mereka akan berbuat makar dengan berbagai cara menghalangi kemenangan ini. Tapi yakinlah mereka tidak akan pernah berhasil. Allah SWT telah memastikan kekalahan mereka dalam firman-Nya: “ Tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-siapa belaka” (TQS al Mu’min: 25). Walhasil marilah kita meraih kemenangan yang hakiki dengan meraih ketaqwaan yang sesungguhnya dalam Idul Fitri ini dengan memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah. (Farid Wadjdi)

Sumber: http://farid1924.wordpress.com/2010/08/31/idul-fitri-dan-optimisme-perjuangan-khilafah/#more-431

Baca Selengkapnya......

Universitas Kelas Dunia

Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru. Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih menjadi cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu. Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu. Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara. Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics. Aspek penilaian lainnya adalah jumlah paper internasional yang dihasilkan, penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet.

Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia. Terang saja, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India. Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Di Amerika Serikat apa lagi. Benua itu baru ditemukan tahun 1492.

Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Berikutnya adalah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di mesjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.


Universitas ke dua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika. Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.

Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti. Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun! Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun tak main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah. Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas. Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam. Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM). Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam. Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana. Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.

Namun kita tetap optimis. Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.

Sumber: http://famhar.multiply.com/journal/item/189

Baca Selengkapnya......

Krisis Nuklir Dunia dan Solusinya

Perlombaan senjata nuklir dunia tak pelak menghasilkan persediaan ribuan hulu ledak nuklir, berikut alat dan sistem transportasinya, baik di daratan, lautan, maupun di luar angkasa. Untuk menyembunyikan kebusukannya, AS dan Rusia berpura-pura mengupayakan perdamaian dan keamanan dunia. Sepanjang tahun 70-an, 80-an dan 90-an, mereka mengadakan negosiasi panjang yang bertujuan untuk mengurangi (bukan dimaksudkan untuk mengeliminasi) pertumbuhan senjata nuklir. Sejumlah perjanjian ditandatangani dan direvisi, meski realitas di lapangan menunjukkan adanya berbagai perbedaan dengan apa yang tertulis di atas kertas. Tak mengherankan jika jumlah arsenal nuklir yang ada di bumi ini tidak semakin berkurang, namun justru semakin banyak.

Sejarah berbagai perjanjian nuklir itu menunjukkan dengan sangat jelas bahwa masalah kunci terletak pada implementasi yang jujur, dan fakta bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan perimbangan kekuatan dunia.

AS sama sekali tidak pernah menghormati komitmen internasional yang mereka sepakati apabila kepentingannya mengarahkan mereka ke tujuan yang lain.

Adapun negara-negara nuklir di luar kelima kekuatan yang disebut di atas—Afrika Utara, Ukraina, Kazakhstan dan Belarusia—semuanya sudah mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Selain itu ada pula Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sementara itu, Barat terus melancarkan tuduhan terhadap Iran.

India dan Israel

India dan Israel sama sekali tidak berpikir untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Namun demikian, Barat dan AS khususnya seolah menutup mata terhadap program persenjataan nuklir Israel. Sebaliknya, mereka terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Israel, dan tidak pernah meminta—apalagi menekan—Israel untuk bergabung dalam Perjanjian NPT.

Lalu terkait dengan India, AS telah menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir meskipun India menolak kesepakatan NPT. AS juga terus mengembangkan kemampuan nuklir dan peluru kendali India.

Langkah ini diambil agar AS dapat memanfaatkan posisi India sebagai saingan utama melawan Cina, meski hubungannya dengan Pakistan terpaksa harus dipertaruhkan. AS berharap mampu merangkul partai berkuasa di India melalui perjanjian kerjasama nuklir, dan menghadapkan India dengan Pakistan.

Di lain pihak, AS sangat berkepentingan membangun sistem persenjataan nuklir India yang berbatasan dengan Cina. Pengembangan sistem persenjataan India ini diyakini akan mampu membuat Cina sibuk menghadapi risiko potensial sehingga mengurangi kemampuan Cina dalam menghalangi kepentingan AS.

Demikianlah, ketika membahas program pengembangan nuklir di Israel dan India, maka yang menjadi pertimbangan strategis adalah kepentingan AS, bukan kepentingan kemanusiaan atau keadilan.

Korea Utara

Besar kemungkinan rezim Korea Utara—yang didukung oleh Cina—akan menerima sebuah penyelesaian sebagai ganti sejumlah jaminan keamanan dan bantuan ekonomi. Cina tidak menghendaki adanya sebuah rezim bersenjata nuklir di perbatasannya. Hal ini mendorong Korea Utara untuk membuat sebuah penyelesaian damai bagi program pengembangan nuklirnya.

Pakistan

Berbeda dengan India, Pakistan dipandang oleh pemerintah AS sebagai negara yang tidak bertanggung jawab dalam program nuklirnya antara lain dengan tudingan jual-beli nuklir ilegal. Hal ini menjadi alasan bagi pemerintah AS untuk mengakhiri kerjasama pengembangan nuklir dengan Pakistan. AS juga membangun opini tentang adanya ancaman potensial jika bom-bom nuklir Pakistan jatuh ke pihak yang disebut AS sebagai kelompok militan.

Ketika Cina dan Pakistan mengumumkan kerjasama mereka untuk membangun dua reaktor nuklir di Pakistan pada akhir April 2010 lalu, AS menyatakan protes kerasnya, dan menuduh Cina telah melanggar kewajibannya dalam Perjanjian NPT. Demikianlah, secara efektif AS menggunakan segala cara untuk melucuti kemampuan nuklir Pakistan.

Iran

Aktivitas nuklir Iran dimulai sejak masa Shah Iran, ketika pemerintah Iran bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Prancis dan Jerman. Iran telah menandatangani NPT pada tahun 1970. Setelah Revolusi 1979, rezim Iran menghentikan program nuklirnya hingga Presiden Rafsanjani memulainya lagi pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 1995, pemerintah Iran menjalin kerjasama dengan Rusia yang menyelesaikan pembangunan instalasi nuklir yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan Eropa.

Krisis nuklir antara Iran dan Eropa bermula pada tahun 2003, ketika tokoh-tokoh oposisi Iran melancarkan tuduhan bahwa Iran tidak melaporkan aktivitas dan instalasi nuklir rahasia kepada IAEA. Pada 23 Desember 2006, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 1737. Selama itu, AS tidak ikut campur dalam pembicaraan dengan Iran, hingga ia terjun dalam persoalan tersebut setelah resolusi ini keluar. AS bersama negara-negara Eropa (5 anggota tetap DK PBB) dan Jerman bertugas mencari penyelesaian dalam kasus tersebut. Negara-negara Eropa, plus Israel, terus berusaha melibatkan AS dalam persoalan nuklir Iran ini, karena mereka merasa tidak mampu menyelesaikannya sendiri.

AS meminta Turki dan Brazil sebagai perantara untuk mendapatkan kompromi. Pada saat-saat akhir, Iran setuju dengan inisiatif Turki dan Brazil yang didukung AS untuk melaksanakan proses pengayaan lanjutan di luar Iran, yaitu di Turki, dan menandatangani perjanjian di Teheran pada tanggal 7 Mei 2010.

Ketika negara-negara Eropa dan Israel menganggap bahwa kesepakatan tersebut hanyalah pura-pura saja, AS segera mengenakan serangkaian sanksi baru yang akhirnya disetujui oleh DK PBB dengan resolusi no. 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.

Demikianlah, pola itu berlangsung berulang-ulang: tiap kali Eropa dan Israel memanaskan suasana, AS akan terjun untuk mendinginkan krisis tersebut untuk menghindari penggunaan serangan militer sebagai bentuk sanksi terhadap Iran.

Kepentingan AS

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Eropa dan Israel ingin menyelesaikan kasus nuklir Iran secara langsung dengan serangan militer atas fasilitas nuklir Iran, atau paling tidak mengenakan sanksi yang mampu melumpuhkan kekuatannya. Di pihak lain, AS ingin menyelesaikan krisis dengan tingkat intensitas yang rendah, yang diselesaikan dengan sanksi-sanksi yang bersifat umum, yang dikenakan setelah melewati pembicaraan yang panjang.

AS ingin memperpanjang krisis nuklir Iran karena sejumlah alasan, yaitu:

1. Ingin menggunakan ancaman nuklir Iran sebagai alasan untuk menebarkan misil-misil AS yang berbasis di Eropa (Polandia, Cekoslovakia), untuk mengepung Rusia dengan sistem rudal mutakhir yang mampu mencapai pedalaman Rusia. Hal ini juga membuat Eropa tetap berada di bawah payung perlindungan AS dari ancaman potensial yang berasal dari Iran dan Korea Utara.

2. Agar dapat menggunakan Iran sebagai ancaman yang menakutkan negara-negara Teluk sehingga negara-negara tersebut berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini akan menyebabkan AS mempunyai argumentasi untuk memperluas jaringan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah tersebut semata-mata karena menghadapi ancaman dari Iran. Sebagaimana diketahui, di wilayah tersebut terdapat tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia: Arab Saudi, Kuwait dan Iran. Langkah politik tersebut akan memberikan jaminan bagi AS agar dapat mengontrol wilayah kaya minyak tersebut sehingga membuat AS dapat mengontrol kondisi perekonomian global.

3. Sebagai pihak yang berperan sebagai penentu sanksi atas Iran, AS dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin yang “bijaksana”, meski sesungguhnya AS hanya mengelola/memperpanjang krisis tanpa sedikit pun niat bersikap “lemah-lembut”. Demikianlah cara AS “melipat karpet” dari bawah Eropa maupun Israel.

Telah tampak jelas bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha memonopoli senjata nuklir, berikut teknologi yang terkait dengannya, dan membatasi penggunaannya hanya untuk mereka. Amerika, melalui berbagai strategi penyesatannya, mengadakan sejumlah pertemuan dan konvensi, seperti pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nuklir yang diadakan di Washington pada tanggal 13 April 2010. Empat puluh tujuh negara berkumpul bersama mendiskusikan apa yang disebut sebagai keamanan nuklir internasional di balik upaya organisasi-organisasi teroris untuk mendapatkan material nuklir.

AS juga berusaha memperlihatkan upaya serius untuk menciptakan dunia yang bebas senjata nuklir. Obama, misalnya, menandatangani Perjanjian START II di Praha pada tanggal 8 April 2010 bersama Presiden Rusia Medvedev, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa kedua bangsa itu berkomitmen untuk mengurangi secara drastis hulu ledak nuklir yang mereka miliki, diperkuat dengan opini media yang menyebarluaskan informasi tentang bahaya senjata nuklir.

Tujuan diadakannya pertemuan tingkat tinggi itu bukanlah untuk menghapuskan senjata nuklir, tetapi untuk mencegah pengembangannya. Meski demikian, kita melihat kemudian pertunjukan standar ganda AS ketika berurusan dengan India dan Israel.

Pertemuan itu juga untuk mencegah penyebaran dan perbanyakan (proliferasi) uranium yang diperkaya berikut teknologinya ke negara-negara yang tidak diizinkan untuk memilikinya. Walhasil, pertemuan tingkat tinggi itu tidak lebih merupakan sebuah upaya konsolidasi monopoli senjata nuklir untuk mengokohkan kolonialisme poros-poros kekuatan dunia terhadap negara-negara lain.

Pandangan Hizbut Tahrir

Pandangan Hizbut Tahrir adalah pandangan Islami yang digali dari nash-nash syariah. Di antara pandangan itu adalah:

1. Tujuan jihad dalam Islam adalah untuk membangkitkan manusia dengan menyebarluaskan Islam kepada umat manusia, dan bukan dimaksudkan untuk membasmi atau menghancurkan manusia.

a. Islam adalah risalah dari Allah SWT yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia (QS al-Anbiya’: 107)

Dalam Islam haram melukai warga sipil, merusak pepohonan, dan menghancurkan bangunan (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik)

b. Ketika Khalifah Abu Bakar ra memberangkatkan sebuah pasukan ke Suriah, beliau berpesan kepada komandan pasukan, “Saya menasihati engkau dengan sepuluh perintah: jangan membunuh wanita, anak, atau orang tua; jangan memotong pohon berbuah; jangan menghancurkan rumah; jangan membunuh hewan (domba atau unta), kecuali untuk (tujuan) makan; jangan membakar pohon palem dan menebangnya; jangan mencuri; jangan pengecut.” (HR Malik).

c. Semua dalil di atas bertolak belakang dengan politik perang dengan cara pemusnahan umat manusia dan menghasilkan kehancuran yang bersifat massal sebagaimana halnya senjata nuklir. Karena itu, membuat senjata nuklir pada asalnya merupakan perkara yang haram.

2. Namun, ketika satu atau lebih dari satu negara memiliki sistem persenjataan yang sangat mematikan, seperti senjata nuklir, sedangkan kemungkinan penggunaannya semakin meningkat, maka wajib bagi Negara Islam untuk berupaya memiliki sistem persenjataan yang sama (QS al-Baqarah [2]: 194; QS an-Nahl [16]: 126).

Karena itu, Negara Islam diwajibkan memiliki senjata nuklir, jika musuh-musuhnya juga memiliki senjata nuklir.

3. Allah SWT memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan maksimal yang kita miliki untuk menggentarkan orang-orang yang memusuhi kita (QS al-Anfal [8]: 60). Jika musuh memiliki senjata nuklir maka mereka tidak akan merasa gentar berhadapan dengan Negara Islam, kecuali bila Negara Islam memiliki senjata nuklir pula.

Islam melarang Negara Islam menandatangani Perjanjian NPT yang membolehkan negara lain memiliki senjata nuklir. Namun, Islam membolehkan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang diarahkan untuk menghapuskan senjata nuklir. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah berbuat madarat dan hal yang menimbulkan madarat.”

Kami berpendapat itulah tugas yang diemban oleh sebuah negara yang seharusnya menaungi kaum Muslim; negara yang berani berdiri tegak di hadapan negara-negara yang memiliki senjata nuklir; negara yang mampu memaksakan pemboikotan terhadap negara-negara tersebut hingga mereka menghancurkan dan menghapuskan senjata-senjata pemusnah massal semacam itu.

Inilah pendapat Hizbut Tahrir mengenai persoalan Krisis Nuklir Internasional; dan inilah pandangan Negara Islam, Khilafah Rasyidah yang akan tegak dengan izin Allah SWT.

Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/31/krisis-nuklir-dunia-dan-solusinya/

Baca Selengkapnya......